Nyonya Gofman berhenti menguyah berkedel di mulutnya. Ia tidak heran apa yang disampaikan suaminya itu. Menjelang usia lanjut, suaminya memang sering melakukan hal-hal aneh. Menyampaikan hal konyol dan aneh. Dua hari sebelum itu, bahkan suamaninya pernah kepergok tidur di bawah kolong tempat tidur. Saat ditanya, ia menjawab ingin merasakan sensasi sesunyi gelap.
“Jika kau sudah selesai, aku ingin berterus terang denganmu,” ujar Nyonya Gofman, yang menyadari sejak sore suaminya itu menghilang di rumahnya sendiri. Lalu setelah merasa lelah mencari, Nyonya Gofman akhirnya masuk ke dalam kamar, berbaring di atas ranjang kamarnya, menatap langit dan dua ekor cicak, sambil pikirannya terus menebak dimana belahan jiwaku itu.
Saat Nyonya Gofman sedang melamun begitu, ia mendengar suaminya terbatuk. Ternyata belahan jiwanya selama ini ada di bawah dirinya sendiri. Tak jauh dari inderanya. Nyonya Gofman, melongokkan kepalanya ke bawah ranjang, suaminya balik menatapnya, mata itu bersinar seperti mata anak kucing di tengah kegelapan.
Lantas suaminya setengah berteriak mengatakan, “Tolong ambilkan aku selimut!” pekiknya.
Nyonya Gofman melemparkan kain kafan kepada suaminya itu, yang selama ini bersikeras menggunakan kain kafan sebagai alat untuk selimutan. Biar enggak kaget katanya, Dan aku sudah lebih dari siap. Itu alasan konyol yang suaminya ungkapkan saat ditanya mengapa kau harus melakukan itu. Meskipun sedikit jengkel, tapi Nyonya Gofman adalah istri yang patuh.
Lantas Nyonya Gofman menyalakan obat nyamuk di sisi suami tercintanya itu.
Dan keesokan harinya suaminya berkata soal kematian lagi.
“Manusia tak pernah belajar apa-apa soal kematian,” ujar suaminya.
Nyonya Gofman hanya bergeming, sibuk mengelus-ngelus kucing di pangkuannya. Ia telah menghabiskan makan malamnya. “Jika kau tak mau berhenti bicara soal kematian itu lagi, aku janji akan membiarkanmu digigit nyamuk!”
“Seandainya.... Ah, kalau boleh, aku ingin jangan kau yang mati lebih dulu dari pada aku!”
Nyonya Gofman tidak berkata apa-apa.