laguIa duduk-duduk saja di beranda rumahnya. Seorang diri. Sesekali ia terbatuk kecil karena paru-parunya yang tercemar sejak 40 tahun lalu, semenjak ia mulai belajar merokok. Padahal seminggu sebelum itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti merokok. Ia memang melakukannya. Tapi sayang, usahanya terlalu lemah hingga hari ini ia mulai merokok lagi.
Istrinya, Nyonya Gofman, paling pintar membuang-buang kalimat, alih-alih menasehatinya untuk berhenti merokok. Dan ketiga anaknya yang hampir seminggu sekali ke rumahnya, sesekali mengatakan, “Ayah seharusnya berhenti menyakiti diri sendiri.” Begitu ujar mereka.
Tuan Gofman tidak akan menjawab. Ia adalah lelaki 50 tahun yang pendiam. Beberapa hal memang ia rahasiakan dari orang lain, termasuk dari dirinya sendiri.
Rombongan burung melintas di kepalanya dan membentuk lukisan yang aneh namun wajar. Tuan Gofman mendongak, lalu bertanya-tanya dalam hatinya, “Hari apa sekarang, Lis?”
Lis, adalah nama panggilan istri tercintanya. Yang dikubur seminggu lalu. Belakangan Tuan Gofman mengira ini pasti terjadi. Apa pun yang terjadi. Tuan Gofman siap. Hanya saja ya ia belum rela-rela amat jika harus kehilangan belahan jiwanya, teman debatnya, lawan sepadannya di atas ranjang, selama 25 tahun belakangan ini. Teman mengaji sekaligus teman menguji.
Di ulang tahun mereka yang ke 45, pasangan itu sepakat saling memberikan satu sama lain sebuah kain kafan sebagai hadiah ulang tahun untuk pasangannya. Itu sepenuhnya adalah ide Tuan Gofman, yang tercetus begitu saja saat mereka makan malam. Entah apa yang mengganggu pikiran Tuan Gofman, sehingga, ia sanggup berpikir, itu adalah kado ulang tahun yang paling menarik dalam lintasan kepalanya.
Usia Tuan Gofman 5 tahun lebih tua ketimbang istrinya. Mengingat probabilitas ini, tentang kematian, ia berpikir, kalau pun datang waktunya memisahkan mereka, tentu, A, kesempatan itu jauh lebih besar memihak kepada dirinya lebih dulu. Lagi pula, B, selama ini Istrinya terlalu sehat untuk bisa terus mengurusnya yang terus-terusan sakit-sakitan melulu. “Kalau ada yang lebih menemui malaikat maut, Lis, tentu aku. Bukan kau,” ujarnya meyakinkan Istrinya itu.
Di meja makan. Televisi sedang menyiarkan berita politik yang sungguh berisik.
“Jangan ngaco, ah!” Istrinya menimpali santai.
Nyonya Gofman memang senantisa terdengar manis, selain dia adalah orang yang optimis, adalah alasan Tuan Gofman menjadikan wanita itu sebagai istrinya.
“Aku ingin mati lebih dulu daripada kamu. Aku ingin kau yang mengurus jenazahku, aku ingin kau memandikanku terakhir kali, mendandaniku dan memberiku minyak wangi. Lalu aku akan menunggumu dengan damai di lubangku. Aku ingin hanya kau yang menangisiku terakhir kali, setelah seminggu anak-anak kita sedih dan melupakan aku.”