Now some people say happiness takes so very long to find....*
Terus yang saya ingat itu. Setiap kali sedih dan sendirian dan tak terhibur dan ingat yang dikatakan Rimbaud, "Hidup paling menyenangkan adalah mabuk di pinggir pantai dengan arak murahan!"
Saya ingin. Tapi apa gunanya mencapai pasir, tidur terlentang karena setelah itu, saya tahu saya tak akan kembali senang dan stabil. Perangkat macam apa yang dibutuhkan manusia sebagai stabilizer seperti perangkat komputer, selain kepercayaan bahwa kebahagiaan itu jauh. Seolah bangunan labirin yang harus ditempuh dengan cara melewati satu pintu hanya untuk terjebak di pintu berikutnya, hingga terjebak lagi di pintu tak terduga. Sementara di tengah-tengah keinginan lekas sampai, mendadak saya ingat kamu. Tersenyum. Tak berkata apa pun. Padahal saya berharap sekali kamu berkata, "Pintu keluar sebelah sana!"
Malam-malam begini, apa yang biasa saya lakukan? Saya tak ingat. Kemarin malam saya telanjur melamun dan membiarkan seseorang keluar dari dalam tubuh saya, membiarkannya di luar, seolah ingin mengetuk pintu hanya untuk memastikan, "Hallo! Apakah di dalam sana ada orang?"Seakan-akan ia telah meninggalkan tubuh saya itu lama sekali, sehingga ia tidak yakin akan diterima (kembali) sebagai anggota keluarga.
“Ini hanya aku,” katanya.
Setiap saat, setiap kali merasa gelisah dan kesepian, terkadang saya mengingat diri saya adalah seorang gembala yang lupa mengikat domba-domba miliknya dengan kencang, sehingga mereka terlepas. Lalu dengan penuh penyesalan, pada akhirnya saya berteriak pada angin: Ini memang salahku! Aku memang ceroboh, tidak berguna dan pahit. Maafkan aku!
Terkadang saya memang berbuat naif, tidak fokus, bersiul, melakukan hal-hal yang bisa digantikan oleh anak tujuh tahun; menyimak datangnya arah angin, mengakui telah mengunci pintu dengan benar dan baik pada Ibu, bertanya pada tukang somay keliling: berapa harga tusukan sate-sate ini? Mengapa awan terlihat seperti ubur-ubur? "Apakah kau melihat malaikatku?"
Tapi, rasa-rasanya saya harus bersyukur, setiap kali, misalnya, melihat penampilan daun gugur. Pasrah dari keinginan mengatur. Sikap seekor lalat terperangkap yang membenturkan kepalanya sendiri di hadapan kaca, yang sama sekali tidak membuatnya gegar otak. Itu adalah rasa syukur. Rasa syukur, apa pun itu, semestinya patut dihirup seperti jari-jari bunga dengan membiarkan jari-jari kita terluka karena tertancap duri-durinya.
Ada orang-orang yang melalui hari-harinya dengan terus menggigit giginya kuat-kuat. Ada orang yang membuat keputusan salah, tapi ia mempercayainya dengan penuh ritus. Ada seseorang yang pergi ke toko sebelah hanya untuk membeli kapur barus yang ingin digunakannya untuk menghalangi jalan semut-semut kecil, sementara seekor cicak menempel di langit-langit siap menunjukan karma, memberaki kepalanya. Dan setelah kembali dari kamar mandi, setelah waktu ke waktu yakin, kita dibikin dari gundukan pasir yang rapuh di tepi pantai.... Jadi dengan apa saya bisa terus percaya dapat melihatmu tersenyum kembali dari keinginan hidup, yang saya kira, kesepian adalah rencana pergi ke laut, memandang ombak, membekaskan telapak kaki ke pasir dan pulang malam hari, dan tidur dengan menutup selimut sampai dagu. Hingga saya mampu bergumam, saya belum menemukannya. Belum!
Saya kesepian. Terjebak. Menyusut sepeti batu karang dan kebahagiaan menjauh tanpamu. Sepenting inikah yang kamu inginkan? Selamat tahun baru untukmu, selagi seseorang menutupi tubuhnya hingga dagu.
Ritual Lima Menit, 02 januari 2017
(*) Tulisan ini adalah beberapa rangkaian status FB saya. Setelah menikmati Barry Manillow, mendadak saya ingin menyatukannya menjadi bagian yang utuh. Now some people say happiness takes so very long to find.... saya dapatkan dari lirik Can't Smile Without You yang juga dari beliau. Dan saya rasa, kalian perlu mendengarkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H