Kepada pembaca yang baik dan budiman,
Saya tidak bersalah. Saya hampir yakin. Dan saya tak tahu ada rahasia besar seperti itu, mendengar, kerabat saya mengabarkan bahwa saya masuk nominasi kompasianer kategori 'Best in Fiction' di ajang  Kompasianival tahun 2016, demi tuhan, apa yang telah saya lakukan? Saya tidak bersalah dan pasti ada kesalahan, sehingga saya mesti menjalani hukuman ini. Karena saya tak akan percaya sanggup dituduh serta menanggung predikat penulis fiksi terbaik Kompasiana tahun ini, andai saya terpilih, (alhamdulillah tidak) mengingat dan menimbang kedalaman hidup yang sampai pada suatu titik gagasan saat manusia dipenuhi rahmat dan berkat dan sedikit bakat menaruh kesimpulan: siapalah saya ini.
Bersama Lilik Fatimah Azzahra, Fitri Manalu, Ikhwanul Halim dan Livia -yang juga- Halim dan saya, yang hanya sebagai orang-orang yang dimata-matai dan "ketangkap basah" sedang bermain 'hujan' di kanal fiksi, gerimis, imajinasi, kopi dan kepada hal-hal tak masuk akal, liar, absurd dan sebutan apa saja.Â
Saya sadar atas dorongan pembaca sekalian, kami berlima ada atas atensi dan perhatian ekslusif yang anda sekalian berikan.
Tapi lihat, mereka berempat (dikurangi saya) telah berdiri tegak berlindung di bawah payung berwarna biru saat hujan di halaman Fiksi. Mereka, adalah orang-orang berkualitas dan ya, Â bersikap lembut; menyapa siapa saja yang lewat di sekeliling mereka. Sementara saya sendiri pendiam. Diam dan tak terlibat, dan berdiri di samping mereka sambil mengenakan payung berwarna paling lain. Hijau. Â "Ya ampun, mengapa saya berdiri di situ? Sesuatu pasti telah terjadi. Mungkin sebuah kesalahan."
Namun apa yang mesti kita percayai dari sebuah kesalahan jika satu-satunya kesalahan adalah kebenaran. Dan apa komentar terbaik saya, jika satu-satunya kebenaran adalah sebuah kesalahan. Saya tidak tahu.
Setiap hari, satu yang saya lakukan: saya berharap hari berlalu tanpa memalingkan muka -menatap saya- tapi berlalu sajalah.
Menjadi peserta nominasi di Kompasianival 2016, tentu adalah suatu kehormatan besar bagi diri saya yang, meskipun saya tidak dapat hadir mengikuti euforia di Kompasianival di Smesco, karena beberapa alasan yang tak bisa saya bagi.
Jika boleh disamakan, saat ini, mungkin, saya lebih mirip, jenis manusia pengintip rumah gaduh yang menempelkan keningnya di kaca untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam sana.
Ibu Fitri Manalu, mungkin dapat menjelaskan kepada saya. Mulai dari suasana di sana, hingga perasaan beliau menjadi Best in Fiction tahun 2016. Ia mungkin akan memulai kata-katanya dengan mengucapkan, "Benar. Saya jauh sekali dari Medan, dan enggak nyangka bakal menang, Mas!"
Dan saya jawab, pertama, karena anda sangat layak. Kedua, "Mungkin ini adalah saat yang tepat, Bu Fitri Manalu, sebaiknya, anda berteriak kepada dunia: Saya Fitri Manalu, dan hidup ini adil!"
"Nah, begitu."
"Hehehe... tapi saya tetap enggak percaya lho, Mas!"
Dan saya jawab, saya memintanya untuk terus berteriak.
Sudah.
Kepada pembaca yang baik dan budiman, terimakasih atas kepercayaan anda kalian kepada kami. Terimakasih atas cintanya yang tak usai-usai.
Salam saya.
(*) Selamat buat Ibu Fitri Manalu, peraih kategori Best in Fiction tahun 2016. Tak ada seorang pun yang layak, kecuali hari ini, Ibu, adalah orangnya.
Saya Andi Wi. Mohon maaf jika ada salah kata, ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H