Kebosanan saya muncul tiba-tiba, seperti bayang-bayang bocah di tengah jalan dan pengendara kikuk yang tak tahu apa harus ia lakukan. Bertanya-tanya: apakah ini saat yang tepat menabrakan kepala ke trotoar?
Beberaha hari lalu saya menghapus beberapa tulisan saya di Kompasiana. Tak ada alasan rahasia, alasan romantis, atau pun alasan filosofis yang dapat saya bagi. Strategi ini sepenuhnya timbul karena kebosanan itu muncul, membisik ke telinga saya, yang kira-kira melafalkan kata-kata, "Tulisanmu nggak berguna, I!"
Maka saya menghapusnya. Ingin seluruhya, kecuali. Apa-apa yang seringnya saya lakukan, memang tidak berguna. Seperti kesepian. Mereka tidak berguna. Seperti penyair yang mencintai kesepian. Mereka tidak berguna, kecuali kesedihan mereka menuliskan sajak.
Akhir-akhir ini saya menamatkan lakon saya sebagai peran di dunia untuk merenung dan menatap langit-langit kamar. Dua ekor cicak boleh jadi jelmaan malaikat yang sejak tadi mengintai, mengamati dan meyakini teman sebelahnya bahwa mereka tidak keliru (lagi) menempatkan diri sebagai pencabut nyawa profesional dengan modal menenteng daftar yang telah dituliskan Tuhan.
Dalam sebuah tugas besar, dalam sebuah perang liar misalnya, segala hal bisa saja terjadi. Seseorang mencabut pedang dari sarungnya. Bersikap seperti pencabut nyawa. Mencabut nyawamu yang, ketika seharusnya malaikat itu mencabut pengecut yang kabur dan berlari bersembunyi di balik semak-semak.
***
Kebosanan saya lahir semata-mata karena saya manusia. Sampai kalimat ini ditulis, begitulah saya percaya.
***
Seekor nyamuk mendarat mantap di kening saya.Â
Saya menunggu dan saya meratap. 60 menit berlalu, saya masih hidup menunggu. Seperti jomblo yang menunggu balasan pesan singkat gebetannya nongol.
Sementara perut nyamuk sialan itu, di kening saya, kadung penuh dan buncit. Ia terbang sempoyongan setelah kenyang. Mungkin mabuk. Saya menepuknya, dan ia mati.
Saya kembali merapikan tidur saya. Dua ekor cicak masih melanjutkan diskusinya.
15 menit berlalu, belum ada keputusan apa-apa. 4 jam sudah -mungkin si gebetan ketiduran. Saya pasrah.
Saya yang mulanya bosan mengarang cerita, kini mulai mengarang dialog  imajiner mereka. Mengambil pensil dan menyobek bagian tengah-tengah buku.
"Kita salah kamar!"
Dua ekor cicak laki-laki. Salah satu cicak mengatakan itu. Saya berusaha mengendalikan dialog mereka. Alasannya konyol. Pertama, cicak di seluruh lapisan dunia ada. Di kamarmu juga ada, bahkan ketika kau telanjang diri di kamar mandi. Kedua, saya tidak ingin mati muda. Dua saja alasannya.
"Tidak. Dialah orangnya, kita harus mencabut nyawanya sekarang juga."
"Aku tak yakin!"
"Sebelum fajar."
"Kita salah kamar!"
"Benarkah? Coba kulihat datanya?"
Salah satu cicak mengulurkan lidah panjangnya. Seekor cicak lain membaca huruf yang tertulis di sana.
"Kukira ini adalah letak geografisnya?"
"Kau belajar geografi dimana sih?"
"Aku sedang tak ingin bertengkar. Nilai IPS-ku memang rendah. Tapi dengar, meskipun kauyakin kita salah kamar, setidaknya lelaki itu telah bersikap kejam."
"Apa maksudmu?"
"Kaulihat barusan? Ia telah membunuh seekor nyamuk kecil yang sedang mencari makan. Ia lelaki kejam, dan seorang pembunuh, menurutmu hukuman pantas apa yang mesti ia tempuh?"
"Kau benar. Tapi kupikir, kau hanya berusaha menunjukan nilai mengarangmu yang tinggi. Sementara kau sendiri dari tadi ngemil nyamuk."
"Bukan aku yang makan mereka, tapi hasrat binatangkulah yang melakukannya.
Dua ekor cicak itu memang telihat lucu.
"Sudahlah ayo kita pergi."
"Tunggu dulu sampai aku tahu apa yang sedang dilakukan lelaki malang di bawahku dengan sehelai kertas."
"Ayolah. Kesibukan kita bukan untuk memerhatikannya."
Seekor cicak ngluyur dari lingkaran lampu.
"Sebentar. Sebentar!"
"Apalagi?" Keluhnya menghentikan langkah.
"Apa menurutmu ia sedang menuliskan surat buat pacarnya? Atau jangan-jangan ia sedang menuliskan surat wasiat, karena ia tahu bahwa ia sebenarnya, sebentar lagi mati. Dan kita sebenarnya bukanlah malaikat, melainkan ya, cuma cicak biasa."
"Ya ampun!"
"Apa?"
"Kau terlalu banyak ngemil nyamuk. Beginilah jadinya."
"Kaupikir aku mabuk?"
"Sudah sebaiknya kita pergi sekarang juga. Dan berhentilah mengarang yang tidak-tidak."
Fajar menyingsing.
Mereka pergi dari atas langit-langit kamar.
Sampai tulisan ini selesai  dibuat, saya tahu saya telah kembali menulis. Dan kembali bosan bisa sama cepatnya;  adalah alasan manusia bertahan menunggu pesan dari gebetan. Bosan cuma perkara kaumau mengakalinya atau begini, kita ngopi, dan pergi ke toko buku terdekat. Mencari buku: Kiat-kiat Jitu Mengambil Hati Gebetanmu.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H