Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Bagian-bagian yang Kita Sederhanakan

28 April 2016   17:08 Diperbarui: 2 Mei 2016   01:03 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan penuh pertimbangan akhirnya kami sepakat melewati sungai. Jika benar ini adalah salah satu jalan menuju Roma, seperti kata pepatah, kurasa ini bukanlah jalan yang menyenangkan. Sungai ini tidak terlalu dalam tapi arusnya cukup menghanyutkan seekor bayi tirex sekali pun. Bumi yang bertubuh besar dan lebih besar dari bayi tirex, tak goyah diterpa arus namun ia tetap harus berhati-hati. Lelaki di depanku berjalan sangat pelan sementara aku mengikutinya dari belakang seperti seekor ikan sepat. Ia memegang erat ranting kayu yang ujungnnya kupegang. Tak lama kemudian kami telah sampai di tepi sungai.

Tubuh kami basah kuyup.  Tapi yang muncul bukan matahari melainkan bulan yang malu-malu ingin timbul.

“Tidak seperti bayanganmu, kan?” Kata Bumi sambil melemparkan ranting kayu ke sungai. Dan ranting itu hanyut seperti ular.

Aku memandang ke tepi sungai lain. Di sana, dua ekor kepiting yang tolol terus bermain suit. Arrggh....

***

Setelah perjalanan yang melelahkan, kami sampai di ujung gang persimpangan kampung kami. Rumah Bumi bertolak belakang dengan rumahku. Kami berpisah. Sebelumnya Bumi berkata,

“Dini hari nanti Mancherter United lawan Liverpool di Old Trafford. Kau mau bertaruh?”

Aku tidak menanggapi cara perpisahannya itu. Kukatakan padanya, aku terlalu lelah untuk memikirkan siapa yang akan menang maupun kalah. Tapi ia terlalu berhasrat meremehkan tim kesayangan ibu. Sialan! Aku menendang bokong lemaknya sekali lagi. Bumi tertawa. 

Aku buru-buru berjalan pulang karena kedinginan. Di langit bulan telah merias dirinya dengan penuh cahaya, sehingga ia merasa tidak perlu malu muncul di hadapan manusia. Aku memujinya cantik. Ia terlihat tersenyum.

Sambil berjalan pulang dan di bawah senyum bulan aku memikirkan mimpi siang tadi yang baru saja kualami. Ya ampun, aku benar-benar rindu ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun