“Aku hanya ingin kita jauh lebih baik.”
“Lebih baik?” tanyamu balik seperti anak kecil yang tak berniat menatap lawan bicaranya. Semantara salah satu tanganmu memegang tangkai kembang gula dan sibuk melumatnya.
“Maksudku, kita tak perlu lagi merasa kesepian karena masing-masing harus merasa saling kehilangan. Kita tak perlu lagi menjadi orang lain untuk menghadapinya.”
“Kita?” Kau bertanya, kini sesekali menatapku dan kembali menekuri kembang gulamu.
“Mungkin aku.”
“Kupikir kau menyukai itu.” Kini kedua tanganmu memegang tangkai kembang gula erat sekali, seolah mengerti apa yang kupikirkan. Semacam antisipasi kalau-kalau aku mendadak merebut kembang gula dari tanganmu. Sebenarnya, aku ingin. Tapi aku lebih ingin melihat bibirmu yang blepotan itu karena kepayahanmu memperhitungkan bagian yang pas untuk dilumat. Kau nampak manis sekali.
“Menjadi orang lain tak pernah menyenangkan,” kataku.
“Lalu mengapa kau melakukannya?” Tanyamu lalu sambil mengelap sudut-sudut bibirmu dengan lidah dan menyelesaikannya dengan jari-jarimu. Kau nampak khidmat sekali, tak peduli gerakan-gerakan yang kaulakukan itu dapat membuatmu semakin terlihat manis saja. Dan kau melakukannya tanpa sekalipun memperdulikan perasaanku yang melihatmu.
“Aku hanya melakukan seperti kebanyakan orang yang kesepian dengan cara menyibukkan diri, dengan begitu kurasa aku akan baik-baik saja.”
“Lalu, apa kau baik-baik saja?” Kembang gula di tanganmu yang tadinya berukuran sebesar jam dinding kini tinggal setengah lingkaran. Persis seperti menunjukan waktu pada pukul 9.30.
“Lebih buruk dari baik-baik saja,” kataku menjelasakan, “sebagian mungkin seluruhnya tidak baik-baik saja.”