Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Hal-hal yang Terjadi Ketika Kamu Pergi (14)

19 Februari 2016   23:37 Diperbarui: 20 Februari 2016   03:31 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menuju Dirinya Cemas

“Tak ada kebiasaan malam yang, setidaknya dapat meyakini dirinya sendiri, untuk kemudian di-amini orang-orang—yang barangkali seperti kita—yang mendadak cemas dalam berdoa.”

Aku telah sampai pada malam lagi. Dan kau, Lis, sudah malam; belum ingin pulang? Selimut dan bantal-bantalmu, merindukanmu. Ia berkata padaku, membisik dan kadang-kadang di tengah malam yang begitu rumit mereka menjerit. Tentu saja kejadian semacam itu, membuatku kaget... dan pada akhirnya aku pun ikut menjerit. “Mimpi buruk?” Tidak! Aku tak begitu yakin menamai itu sebagai mimpi buruk. Mungkin tepatnya hanya perasaanku saja yang, ketika terbangun menjadi buruk.

Aku mematik rokok. Membakar cemas diriku sendiri, dan ketika itu baru menyadari bahwa layar komputerku masih aktif menyala. Di situ tertulis, (Ohya, tadi sebelum aku benar-benar tertidur di atas meja, aku sempat menulis) bahwa:

“Kau tak perlu menjadi pria 24 tahun yang memelihara seekor ikan koi di dalam akuarium untuk mengerti nama Multatuli (Nama pena dari Douwes Dekker) yang memiliki arti kurang-lebih: “semua penderitaan telah dialaminya”. Sungguh! Sekalipun kau tak perlu melakukan hal-hal yang tak berguna. Memandang ikan terlalu lama, misalnya, hanya untuk memahami Szymborska pernah berkata: “bahwa tubuh kita ini adalah tempat penampungan duka”. Karena yang kita perlukan hanyalah satu: bernapas alakadarnya. Sebab, kadang-kadang hidup ini memang bikin kita sesak; ketika kau kesepian, mengenang, merasa dicampakkan dan atau ketika merasa dikhianati ingatan.”

Pukul tiga dini hari. Aku mematikan rokok dan komputerku. Merebahkan tubuh di atas kasur dan berdoa. Setelah itu aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan—selain bernapas. Tidur? Ya, mungkin aku akan kembali tidur. Mungkin aku akan bermimpi lagi. Mungkin juga tidak, tidak sama sekali. Bagaimana pun jika diijinkan memilih, aku lebih suka pilihan yang kedua. Kau tahu, Lis, bermimpi itu melelahkan sekalipun kau bermimpi indah. Dan kau tahu, sesuatu yang khayal tak pernah benar-benar menjadi nyata. Sebab yang terjadi kenyataanya, kau belum juga pulang, meski di alam mimpi aku merasa kau pulang berkali-kali, setiap malam. Dan setiap malam ketika terbangun, aku hanya bisa menangis.

Aku rindu malam yang hangat denganmu, seperti mimpi-mimpi kita dulu, yang sempat kau rawat itu. 

__

Mangkok yang Menguap, 19 Feb 2016. | ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun