“Aku lebih bahagia ketika aku sendiri,” sambungnya lagi.
Kali ini giliran kau yang tertawa, lebih lama darinya.
“Lihat! Kau juga lebih terlihat bahagia ketika kita bahkan baru dan akan berpisah,” ia melanjutkan kata-katanya sebelum sempat kau jawab.
Kau mengulangi tawamu. Namun lebih pendek, dan berhenti untuk mengatakan, “Tidak, Lis!” nadamu menurun dan mulai menangis.
***
Satu bulan setelah kalian resmi berpisah, kau mulai payah melayani mereka; rindu dan masalalu. Rindu selalu mengajakmu ke tempat-tempat yang sering kalian kunjungi. Pantai pasir putih yang menyimpan hangat kenangan kalian pernah dirawat, kebun binatang; monyet-monyet yang berkeliaran bebas pernah kalian beri makan, museum tua dimana tak jauh dari tempat itu, kau dan kekasihmu, dulu mengabadikan gambar kalian saat mengenakan caping kepada pelukis amatiran, yang hasilnya sungguh mengerikan. Ia nampak seperti orang-orangan sawah, sementara kau lebih mirip muka alien. Termasuk tempat ini, tempat sekarang kau meminum kopi.
Sementara masalalu, saran dari temanmu, “Kalau kau sulit melupakan, maka abadikan!”
“Caranya?”
“Menulislah....”
“Apa yang harus aku tulis?” tanyamu bingung.
“Puisi, barangkali, cerpen, atau lebih spektakuler adalah sebuah novel,” kata temanmu tidak terlalu bersemangat. Seperti buku karyanya yang sama sekali tidak bersemangat dipasaran yang kini berakhir di pasar loak.