Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hal-hal yang Terjadi Ketika Kamu Pergi (11)

10 Januari 2016   00:38 Diperbarui: 10 Januari 2016   00:38 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamu apa kabar? Sudah lama ya, rasanya kita tidak berjuang bersama. Kita tidak berjuang bersama karena kita telah sama-sama merdeka. Kamu pergi ke kota, untuk melanjutkan cita-citamu yang luhur. Kuliah di sana, mengontrak rumah, mengalami akhir bulan yang mengerikan, bertutur dengan banyak orang dengan dialeg pas-pasan. Ya, aku tahu, merdeka bukan berarti bisa lakukan apapun sementara merdeka adalah awal mulai membangun.

Tujuh tahun sudah kamu merdeka. Lebih mungkin. Aku tak ingat. Ada yang bisa kamu ingat? Oh, rupanya aku juga telah lupakan rencana itu. Mempunyai anak darimu—yang barangkali, kini mungkin telah berusia 7 tahun. Ketika nantinya kamu mengisi kotak nasi dengan saos kecap dan telor mata sapi, sementara aku bertugas mengantarkannya dengan sepeda jengki, mengajarinya membaca dan mengaji, mengajarinya cara berkebun dan bertani. “Tentu,” katamu setuju mendengar ide itu, yang aku cetuskan dulu.

“Betul?”

“Setelah aku selesai kuliah dan kita akan menikah.”

“Aku akan menunggu hari bahagia itu.”

“Berjanjilah!”

“Aku tak bisa berjanji, tapi aku akan berusaha menepati sampai kau kembali.”

Di lain hal, kamu memang memulai membangun. Membangun keluarga kecilmu—di luar rencana kita dulu. Aku? Aku tetap seperti ini; tetap di sini di desa kita sebagai seorang petani. Memiliki tubuh kekar yang terbakar matahari dan tangan yang kasar yang terus mencakar bumi.

Kamu masih bisa mengenaliku, sebagai petani rutin sepulang dari sawah atau kebun; mengajar ngaji di sebuah surau kecil yang terletak tak jauh dari rumahmu. Aku menghabiskan banyak waktu di tiga tempat itu; sawah, kebun dan surau kecil. Tapi kini aku lebih banyak menghabiskannya di surau itu. Kadang-kadang aku menunggumu pulang dengan menatap kaca bening tembus pandang halaman rumahmu dari dalam surau itu. Meskipun, kenyataan bahwa sekalipun kamu pulang ke desa kita, kamu bersama orang lain. Aku hanya rindu. Hanya ingin melihat wajahmu. Tapi kamu tak juga pulang. Dan kejadian ini membuatku lelah dan membuatku tertidur sampai shubuh di dalam surau kecil itu.

Aku ingin melupakan banyak hal yang bisa aku ingat darimu. Aku ingin melupakan kejadian cinta Rahwana kepada Shinta. Aku ingin melupakan kisah Pak Rama, jika kamu ingat?! Tentu kamu ingat. Pak Rama tetangga desa kita yang ditemukan mati meringkuk dalam kesepiannya. Sinta-nya entah pergi kemana. Bersama Rama yang lain mungkin.

“Kau terlihat sangat kesepian, seperti hening yang kehilangan geming,” kata-kata ini terdengar berlebihan memang di telinga Pak Rama, sebelum akhirnya memang menyebabkan ia menjadi gila. Seperti memesan sebuah makanan dari harga yang tak sanggup ia bayar. Kemudian ia meminta maaf. Dan ia pulang ke rumahnya, dan meminta maaf kepada semua orang yang ditemuinya di pinggir jalan atau gang yang dilewatinya. Berkali-kali ia mengucapkan: “Maaf jika kesepianku mengganggumu,” dan berjanji, “aku tidak akan mengganggu atau menampakan diri di depan kalian lagi,” tutupnya sambil menangis pulang. Dan menutup pintu rumahnya, selamanya. Dua bulan kemudian Pak Rama ditemukan tewas oleh tetangga yang melintasi depan rumahnya, yang mencium aroma bau busuk, yang sungguh mengganggu indera penciuman. Mengerikan sekali! Bahkan ketika ia mati pun kesepiannya dianggap mengganggu. Diduga ia mati dibunuh kesepiannya sendiri; terlihat tubuhnya yang kurus ceking dan bisa dipastikan, ia mati karena kelaparan. Karena ia memang tidak memesan apa-apa lagi.  

Aku merasa ngeri membayangkan kisah itu, dan aku berusaha membuang jauh-jauh bayangan-bayangan itu. Dan berusaha melupakanmu. Melupakan kata-katamu pada suatu ketika kamu diam saja. “Ada apa?” Aku memulai.

“Aku anak satu-satunya dari ibu dan ayahku. Dan mereka sangat mencintaiku,” katamu setelah diam cukup lama.

“Bagus! Kau adalah orang yang sangat beruntung, bahkan semestinya, mereka, sebagai orangtua sudah seharusnya menyayangi anak-anak mereka.”

“Kau tidak mengerti!”

“Tentu. Tentu saja aku sangat mengerti. Kau anak dari kedua orangtuamu, dan satu-satunya yang mereka punya.”

“Kau tidak mengerti!” katamu lalu mengulangi. Seolah aku ini tuli.

“Baiklah. Lalu apa yang tak aku mengerti?”

“Kau tidak mengerti,” katamu kesal, “kau hanya mengerti cara mendidik anak-anak supaya pintar mengaji. Kau akan marah jika mereka yang bodoh atau keterlaluan bodoh sering keliru atau bingung membedakan antara huruf hijaiyah ‘ba’ dan ‘nun’.”

“Begitu?”

Kamu diam menatap kuku-kukumu.

“Apa kau sedang marah pada sesuatu hal? Maksudku, apa kau baik-baik saja?”

Kamu tak mengangguk atau pun menggeleng. Dan kita melupakan kejadian itu. Setelah beberapa waktu aku menerima kabar pernikahanmu.

***

Di dalam surau kerap aku tertegun dan berakhir melamun. Memikirkan ‘nasib’ udang di balik batu, di balik kata-katamu. Andai saja aku lebih peka mengenali batu-batu kali tempat udang bersembunyi—dan aku gagal, karena aku adalah petani bukan nelayan pencari udang. Andai saja aku bukanlah anak seorang petani dan berkerja sebagai petani. Andai saja Pak Rama tidak mati oleh kesepiannya. Andai saja merdeka bukan seperti pemerintahan kita; yang berarti kita adalah orang-orang yang dibahagiakan oleh kesedihan orang lain. Atau kita adalah orang-orang yang disedihkan oleh kebahagiaan orang lain.

Mungkin memang aku banyak mengalami kesepian. Sedangkan satu-satunya keramaian dalam hidupku yang bisa aku alami adalah ketika di tengah-tengah riuh rendah anak-anak yang sedang mengaji. Dan aku terus berusaha tersenyum untuk tidak memikirkanmu lagi dan lagi.

__

Mangkok yang Mengepul, 10 Januari. | ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun