“Lagi pula, kita tak perlu membenci satu sama lain. Sebab, kita tak saling kenal, untuk alasan saling meminta maaf.”
KOTA memang kejam, selebihnya kejam. Sekarang yang kita perlukan hanya beradaptasi, kalau kau seekor binatang melata, mimikri mungkin bisa dijadikan opsi. Terlepas dari itu, kau juga tahu, kau hanya manusia. Selebihnya kau manusia.
Ya, kita bicara mengenai manusia. Kau manusia, tentu saya juga.
Kota yang saya bicarakan ini, Lis, ialah kota yang banyak menjanjikan kebahagiaan di masa depan. Kota bukan secara harfiah. Bukankah kota sama halnya dengan masa depan; yang ingin kita kunjungi bersama-sama dengan segudang mimpi dan berbahagia nanti. Dan kota ialah masa depan itu. Desa ialah masa lalu yang akan kita lupakan setelah kita tahu, misalnya, hidup ialah pembangunan perwujudan dari mimpi itu.
Kau tahu? Saya sering ragu apa kotamu--masa depanmu--akan menjanjikan kebahagiaanmu. Rumah yang keterlaluan mewah, mobil, tunjangan kesehatan yang memadai dan lain-lain. Atau sebaliknya. Kontrakan empat kali empat yang catnya pucat, kendaraan yang menagih setoran tiap bulan, atau kartu BPJS yang penanganannya kurang tangkas.
Masa depan memang kejam. Selebihnya kejam. Kau baik-baiklah.... Banyak lelaki yang menjanjikan kebahagiaan di kotamu--di masa depanmu--tapi satu hal: janji mempunyai kerabat dekat yaitu ingkar. Maka perkenalkan saya, ialah salah satu leleaki itu. Yang akan membuatmu mabuk di persimpang jalan; sebab cinta saya ialah cinta jalanan. Cinta kota yang penuh goncangan.
Akan saya ceritakan padamu mengenai masa depan:
Magrib tadi, saya baru saja berdiskusi dengan Tuhan, tentu membicarakan tentang nasib saya dan kau di masa depan. Kita seperti di dalam bus perjalanan, kataNya, saya tak perlu khawatir mengenai apa yang saya tuju di masa depan itu. Tuhan adalah Sopir, pemegang lingkar setir yang handal. Saya hanya perlu pegangan yang erat, kalau perlu karat yang menempel untuk pegangan merekat pada telapak tangan, sebab goncangannya sangat kuat. Jika kamu bertahan, di depan banyak sekali pilihan, turunlah sesukamu, lanjutNya lalu.
“Mari, Lis, kita berpegangan...”
“Maaf kau siapa?” tanyamu mengernyitkan dahi.
“Saya, ah, iya saya siapa?”
Lagi pula kita nggak saling kenal, kan? Gak perlu minta maaf.
--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H