"Tak kayak biasa, Ma Cih. Sepi."
"Iya, Mas Loh. Baru buka, tadi harus urus anak dulu periksa ke dokter Robert."
"Sakit apakah?"
"Deman sudah tiga hari, aku pun bingung kenapa ga sembuh-sembuh."
"Kangen ayahnya kali, Ma Cih," ia diam.
"kau juga, tak biasa jam segini belum tidur, Syamsyah lagi?" lanjutnya kemudian mengalihkan pembicaraan.
Pelarianku menuju pulau yang disebut-sebut adalah paru-paru dunia, tak lain hanya melarikan diri, membebaskan hati, dan mencoba mengosongkannya setelah lama terisi Syamsyah, wanita yang kucintai satu-satunya. Namun ia memilih menikah bersama lelaki lain pilihan orang tuanya.
Pertama terdampar di pulau ini, di pelabuhan Loa Janan, aku mengenal Ma Cih, wanita yang jujur ketika menyeduh secangkir kopi. Aku ceritakan semua masalahku kepadanya. Ma Cih juga pendengar yang baik.
"Kau laki-laki, tak boleh luluh. Hidup harus berlanjut...." aku menangis tersedu mendengar ucapannya. Aku tak bisa sekuat itu. Aku rapuh.
Sejak saat aku menceritakan semuanya, Ma Cih mengganti namaku dari Zen menjadi Loloh, yang artinya luluh atau lembek, huruf vocal 'u' menjadi 'o', jika diucapkan secara lisan oleh Ma Cih, orang dari Suku Banjar. Katanya, biar aku malu menahan hinaan sebagai lelaki lembek.
Orang-orang yang menahan hinaan secara berlebihan, maka kinerja otak kanan akan lebih baik dari kinerja otak lainnya, itu disebabkan tekanan yang berlebihan. Dan ia akan lebih kuat (orangnya).