Mohon tunggu...
Zazuli Miftah
Zazuli Miftah Mohon Tunggu... Koki - Penulis itu seperti penjahit

Daripada terlambat, lebih kita mulai saja saat ini. Menulis untuk mengurai persoalan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antara Jokowi dan SBY, It Takes Two to Tango

6 Februari 2020   10:42 Diperbarui: 6 Februari 2020   10:37 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilu 2019 sudah lama berlalu, namun polarisasi yang terjadi di antara elemen-elemen bangsa masih terasa. Polarisasi yang berlarut-larut dan merupakan warisan pemilu 2014 menyisakan sekat-sekat pada tatanan bangsa. Kini masyarakat tidak lagi mudah berkata berbeda. Diskusi ilmiah seolah menjadi barang langka, debat kusir tanpa solusi kian menggema.

Sederhananya, bangsa ini menjadi semakin sulit untuk berdialog terbuka dengan akal sehat. Seolah mengalami kebuntuan dalam menemukan solusi terbaik bagi bangsa. Pemimpin tertinggi negeri seperti kering akan nasihat bijak para pendahulunya. 

Karena alih-alih menjadi 'the elders' atau 'yang dituakan', sebagian tokoh-tokoh senior bangsa ini masih aktif berpolitik praktis, dan pemikirannya seringkali dikait-kaitkan dengan agenda politik tertentu. Padahal sebagai politisi senior harusnya pemikiran mereka bisa menjadi obat mujarab bagi persoalan negeri ini.

Apa sebenarnya 'the elders' itu? Mengapa peranannya seolah menjadi penting dalam pembangunan bangsa ini ke depan? Dalam terminologi politik, memang tidak ada rujukan yang spesifik tentang definisi 'the elders'. 

Namun sederhananya, 'the elders' adalah kumpulan orang-orang berpengalaman, yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan atau biasa disebut sebgaai 'guru bangsa'. Peranan 'the elders' salah satunya adalah menjadi tempat diskusi Presiden dan pimpinan tinggi bangsa dalam membantu menyelesaikan permasalahan bangsa. 

Para tokoh bangsa yang sudah malang melintang di bidangnya tentu bisa menjadi bagian dari 'the elders', namun dalam tingkatan kepemimpinan tertinggi sebuah negara, tentu seorang mantan Presiden idealnya adalah bagian dari 'the elders'.

Di Amerika Serikat, fungsi 'the elders' bukanlah perkara baru. Fungsi ini diperankan oleh President's Club. Seperti yang diilustrasikan dalam buku karya Nancy Gibbs dan Michael Duffy yang berjudul "The Presidents Club: Inside the World's Most Exclusive Fraternity" disebutkan bahwa sebenarnya secara diam-diam bahkan terbuka, para mantan Presiden AS kerap memberikan saran dan nasihat bagi Presiden yang sedang menjabat. 

Karena sejatinya yang bisa berpikir dan bertindak seperti Presiden hanyalah seorang Presiden dan seorang mantan Presiden. Itu adalah privilege. Untuk itu posisi 'the elders' ini menjadi penting dan tak tergantikan.

Fakta sejarah membuktikan misalnya, bagaimana Presiden John F. Kennedy memiliki cerita tersendiri dalam menyelesaikan permasalahan invasi Bay of Pigs. Kennedy tidak segan meminta pendahulunya, Presiden Dwight D. Eisenhower untuk bertukar pikiran. Terdapat foto historis di Camp David dari keduanya yang menyiratkan adanya dialog mendalam antara 'the elders'. 

Tradisi yang sama juga diperlihatkan oleh Presiden Obama dalam masa kepemimpinannya. Meskipun waktu itu dirinya tidak dalam suasana krisis, namun Obama berinisiatif mengundang 'living Presidents' untuk berdiskusi persoalan kebangsaan di White House. Tampak hadir Presiden Jimmy Carter, Presiden Bush Senior, Presiden Bill Clinton, dan Presiden Bush Junior. 

Meski publik pun tahu hubungan diantara mereka tidak selalu berjalan mulus. Namun, tradisi silaturahmi ini perlu diapresiasi dan diteladani pemimpin negeri ini. Bagaimana Presiden yang sedang menjabat tetap memposisikan penting para mantan Presiden sebagai pendahulunya, dan juga sebaliknya bagaimana para mantan Presiden memposisikan dirinya sebagai teman diskusi dan pendengar yang baik dari Presiden yang menjabat. 

Ini bukanlah sekedar gimmick politik semata, namun lebih dari itu, ini merupakan sebuah bentuk nyata dari gesture politik dan dukungan moril bagi pemimpin yang tengah berkuasa. 

Sebenarnya tradisi ini juga pernah dilakukan di Indonesia. Sebut saja ketika SBY kerap mengundang Gusdur dan Habibie bertukar pikiran dalam berbagai kesempatan, juga ketika Presiden Jokowi berdiskusi masalah kebangsaan dengan Habibie, Megawati dan SBY. Saat ini Indonesia tinggal memiliki 2 'living former Presidents', Megawati dan SBY.

Megawati baru saja terpilih kembali secara aklamasi dalam Kongres PDIP 2019. Sebagai Ketua Umum partai yang menang pemilu dan berkuasa, pendapat-pendapat Megawati tentu akan menjadi bias dan sarat akan muatan politis di mata publik. Sehingga sulit bagi Megawati untuk bisa leluasa bicara tentang persoalan kebangsaan yang berada di luar urusan kepartaiannya.

Sementara, menjelang Kongres Partai Demokrat, SBY justru sepertinya sedang bersiap-siap untuk memikirkan persoalan-persoalan kebangsaan dari sisi yang strategis lepas dari day-to-day politics. 

Ia kerap mengatakan, "Sudah saatnya yang muda tampil di depan, sementara orang tua 'Tut Wuri Handayani', mendukung dan menjaga dari belakang". Ini adalah sinyal positif bagi regenerasi di partai yang digagasnya, Partai Demokrat dan juga bagi bangsa ini. 

Setelah menjadi Ketua Umum selama lima tahun terakhir, Berkali-kali ia menekankan dalam beberapa pidatonya tentang regenerasi dan kaderisasi dalam tubuh Partai. Melihat tabiat dan tradisi dari seorang SBY dalam bersikap dan membuat keputusan strategis, dia akan mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Dia adalah seorang yang well-prepared dan perfeksionis.

Mungkin publik luput melihat tanda-tanda bahwa SBY sebenarnya sudah mempersiapkan lapis kepemimpinan baru di tubuh Partai Demokrat baik di level daerah maupun di level nasional. 

Survei-survei menunjukkan tokoh muda Partai Demokrat memiliki elektabilitas yang tinggi diantara tokoh-tokoh muda di partai lain. Begitu juga yang terjadi di level daerah, banyak potensi kader Partai Demokrat yang elektabilitasnya cukup untuk menjadi calon kepala daerah.

SBY tidak lagi eksklusif milik partai biru berlambang mercy saja, namun milik seluruh rakyat Indonesia. Dengan tidak lagi menjabat sebagai Ketua Umum Parpol, tentunya akan memberikan keleluasaan dan fleksibilitas bagi SBY untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa, tanpa sekat-sekat kepartaian dan tanpa lagi harus dicap bahwa SBY mewakili parpol tertentu saja. Dengan ini, publik bisa mengharapkan SBY bisa bertransformasi menjadi 'guru bangsa' atau 'the elders' tanpa perlu khawatir ada embel-embel muatan politis.

Terlebih lagi, apabila melihat rekam jejak SBY selama ini, baik dalam 10 tahun memimpin Indonesia, lima tahun berjibaku di level strategis kementerian sebagai Menteri Pertambangan dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan pasca era reformasi, Kasospol dan mengawal reformasi pada tubuh TNI membuat SBY menjadi sosok yang sangat pantas untuk dijadikan 'the elders'. 

Pemikirannya cespleng, cemerlang dan juga very well respected tidak hanya di level nasional, namun juga di level kawasan dan dunia. Kita menyaksikan bagaimana SBY sering didaulat menjadi juru damai dari berbagai persoalan negeri dan dunia. Dengan memiliki latar belakang sebagai pasukan perdamaian PBB di Bosnia-Herzegovina, SBY luwes dan piawai mencari jalan tengah dalam persoalan yang pelik

. Lihat saja bagaimana persoalan Cicak vs Buaya yang menyandera KPK dan Kepolisian, klaim Thailand dan Kamboja atas kuil candi Preah Vihear, proses demokratisasi di Myanmar, dan 'shuttle diplomacy' atas buntunya 'joint communiqu' di ASEAN terkait Laut Cina Selatan. Bahkan di penghujung masa periode keduanya, SBY diminta PBB untuk menjadi co-chair bersama Perdana Menteri Inggris dan Presiden Liberia dalam membuat roadmap Sustainable Development Goals (SDGs) bangsa-bangsa di dunia sebagai bentuk lanjutan dari Millenium Development Goals (MDGs).

Rekam jejak, talenta dan legacy sekomplit itu sangat sayang untuk dibiarkan begitu saja oleh bangsa ini. Tidak banyak tokoh bangsa yang punya pengalaman dan jejaring selengkap ini. SBY tidak hanya sarat akan pengalaman dan kapasitas yang mumpuni namun juga dirinya memiliki wisdom dan akseptabilitas yang tinggi dari berbagai pihak.

Contoh paling nyata adalah pada saat transisi kepemimpinan di tahun 2014, SBY menyiapkan segala sesuatunya untuk memperlancar estafet kepemimpinan bagi Jokowi. Bangsa ini mencatat peristiwa ini sebagai sejarah penting. 

Untuk pertama kalinya transisi kepemimpinan bangsa ini berjalan lancar. Tentu, ini adalah tradisi yang sangat baik dan sebuah bukti sejarah bagaimana SBY selalu memposisikan diri dengan proper dan sebagai seorang negarawan. Sejatinya, president's problems need president's solutions.

Komitmen SBY jelas. Dalam pidato kenegaraan terakhir di tahun 2014, SBY menyampaikan bahwa adalah kewajiban moral sebagai mantan Presiden nantinya, dan sebagai warga negara, ia ingin terus berbakti kepada negaranya untuk bersama-sama mendengarkan dan mendukung Presiden yang menjabat untuk kebaikan dan kemajuan negeri ini.

Tidak ada kata terlambat untuk memulai tradisi yang baik ini. Ada pepatah yang mengatakan, "It takes two to tango", artinya kedua belah pihak harus bersedia. Kini bola ada di tangan Presiden Jokowi bagaimana ia akan mengambil peluang emas untuk menjadikan SBY teman diskusi terbaiknya, dan memposisikan SBY sebagai 'the elders'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun