“Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu” (Hadist Bukhari)
Kutipan Hadist di atas dinilai relevan dalam menggambarkan situasi kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Selain kehilangan sosok figur negarawan, kini masyarakat Indonesia juga mulai terjangkit penyakit ambisi yang berlebihan.
Ambisi yang tinggi telah membuat orang lupa mengenali siapa dirinya, sejauhmana mana kemampuannya, dan lebih dari itu tanpa mereka sadari telah terjebak dalam sikap yang “jumawa”.
Begitu juga kaitannya dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang sebentar lagi akan digelar. Saya sedikit kecewa setelah mengetahui sosok Anies Baswedan yang selama ini saya kenal sebagai akademisi ternyata ikut menjadi bagian dalam mencari peruntungan politik merebut orang nomor satu di Jakarta.
Dalam dunia akademisi, nama beliau cukup harum dikenal sebagai orang terdidik dengan berbagai prestasi akademik yang dimiliki. Bahkan beliau juga merupakan mantan Rektor Universitas Paramadina Jakarta.
Namun sangat disayangkan, keharuman nama tersebut harus tercederai oleh pertarungan politik yang sarat kepentingan. Malah saat ini, Anis yang dikenal sosok akademisi malah terjebak dalam lontaran celotehan politik saling serang yang jauh dari kesan simpatik.
Harus pula diakui, menjadi pempin untuk sebuah kota sebesar Jakarta tentulah tidak mudah. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan gagasan akademis semata dengan merujuk pada keberhasilan membangun pendidikan disebuah unversitas. Berbagai kompleksitas permasalahan ada di sini, jatung Ibu Kota negara.
Keberhasilan sebuah kepemimpinan tentu juga harus didukung oleh pemahaman tata kelola pemerintahan dalam mengenali politik biroraksi itu sendiri. Hal itu tidak dapat dipungkiri hanya bisa diperoleh dari pengalaman yang panjang tentang itu. Belum lagi menghadapi tekanan politik kepentingan dan sebagainya.
“Seorang guru yang hebat, belum tentu dapat menjadi kepala desa yang sukses. Namun saya meyakini, guru yang hebat akan mampu menciptakan kader didik yang baik, karena ia memahmi betul bagaimana cara mengajar yang tepat”.
Jika kembali pada awal cerita di atas, sesuatu jika tidak diserahkan kepada ahlinya, niscaya kita hanya menunggu datangnya kehancuran. Kehancuran yang dimaksud tidak selalu dimaknai lebur, namun ia juga dapat bermakna kegagalan.
Untuk itu, marilah kita semua mulai belajar dalam menempatkan segala sesuatu sesuai dengan porsinya. Jujur harus saya sampaikan, saya merindukan sosok Anis Baswedan yang dulu, ramah, santun, dan penuh wibawa. Sosok beliau jauh lebih terhormat menjadi seorang akademisi ketimbang politisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H