Dari mispersepsi ini, bisa timbul pemikiran bahwa wanita tidak akan menang melawan lelaki karena fisiknya lebih lemah. Maka, agar wanita aman, lebih baik wanita berada di rumah saja. Meski pernyataan penulis di atas cenderung non-sequitur, akan tetapi media punya andil dalam melestarikan mispersepsi seperti ini di masyarakat.
Selain itu, media juga seharusnya tidak perlu menyaring kata “pemerkosaan”. Seperti kata “pembunuhan”, kata “pemerkosaan” merupakan tindak kejahatan berat yang patut dijatuhi hukuman setimpal, media harusnya fokus kepada hal ini. Jika menilik lebih lanjut, kenapa kata itu harus diganti?
Hemat penulis, media massa berusaha menggunakan kata yang ramah terhadap anak – anak di bawah umur. Tetapi dengan cara mengganti kata “pemerkosaan” menjadi “menggagahi”, media mereduksi artinya menjadi sebatas aktivitas seksual. Sebuah bentuk ketimpangan lagi oleh media, di mana posisi korban “pemerkosaan” secara tidak langsung dikecilkan penderitaannya.
Hal–hal seperti ini memang terkesan remeh – temeh, atau banyak yang menganggap tidak penting. “Ekonomi sulit pak, mending kerja daripada mikir hal kaya gini.” Bener juga, setiap orang memiliki prioritas berbeda dalam hidupnya, dan mungkin menelaah media bukan fokus dan prioritas mereka.
Tapi, sebagai konsumen, cukup menyenangkan untuk mengetahui opsi dan kemerdekaan dalam mengartikan berita, tidak serta merta percaya atau menolak isinya. Anggap saja ini upaya penulis ntuk menambah opsi dan mengoptimalkan kemerdekaan dalam mengkonsumsi berita dan media massa.