Siapa yang belum pernah mendengar nama Sungai Citarum? sungai di Jawa Barat dengan panjang sekitar 300 kilometer popular sebagai sumber pembangkit listrik tenaga air di pulau Jawa dan Bali.
Dari masa ke masa, Citarum juga berfungsi untuk jalur air, penghubung dunia luar di lepas Laut Jawa, serta di pedalaman selatan Jawa Barat. Banyak pemukiman dan kawasan pertanian tumbuh subur di sepanjang aliran sungai Citarum.
Ceritanya tidak hanya berhenti disitu. Bank Dunia telah pernah menyebut Citarum sebagai sungai terkotor di dunia. Lho kok bisa? Dan julukan ini di pakai media dan pemerhati lingkungan untuk mendeskripsikan Citarum itu seperti apa.
National Geographic-pun pernah mengulasnya. Dikatakan bahwa tingkat limbah dan polusi di Sungai Citarum sudah sangat mengkhawatirkan yang ditandai dengan kandungan bahan kimia dengan kadar airnya seribu kali lipat lebih tinggi dari batas air minum aman yang ditetapkan Amerika Serikat. Tentu saja ini bukan prestasi yang dapat dibanggakan.
Pabrik-pabrik ini adalah sumber mata pencaharian bagi warga sekitar Citarum dimana sebagian besar Instalasi Pengolahan Air Limbah atau IPAL-nya tidak cukup memadai.
Selain dari industri, jumlah sampah rumah tangga di kawasan ini cukup besar mencapai 20.462 ton/hari, dan 71 persen di antaranya tidak terangkut sampai ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Sebanyak 35.5 ton/hari kotoran manusia dan 56 ton/hari kotoran hewan/ternak juga dibuang langsung ke Sungai Citarum. Masalah lainnya adalah di bagian hulu juga terjadi alih fungsi lahan hutan lindung secara masif untuk lahan pertanian.
Hal tersebut memicu terjadinya erosi dan sedimentasi. Sebuah ironi kondisi ketidakseimbangan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan yang nyata.
Tempat ini berlokasi di Desa Tarumajaya, Kertasari, Kabupaten Bandung. Ketika saya berkesempatan datang langsung Situ Cisanti pada hulu Sungai Citarum, saya disodorkan potret lingkungan yang berbeda dengan kenyataan di bagian hilir yang diidentikkan Bank Dunia sebagai yang terkotor tadi.