Kota Bogor sebagai tempat saya tinggal sejak Tahun 2014 dikenal sebagai kota hujan yang didesain sejak zaman Belanda sebagai tempat berlibur warga Jakarta selain ke Bandung.Â
Hal ini ditunjukkan jika musim liburan panjang maupun weekend, maka mobil dengan plat B mendominasi jalanan dan tempat parkir di Kota Bogor. Kota ini identik kota yang sejuk, indah, subur serta memiliki banyak taman kota sampai kebun raya yang makin menguatkan posisinya sebagai tempat berlibur.
Dibalik keindahan dan kelebihan tersebut, ternyata Kota Bogor memiliki salah satu permasalahan rutin lintas kepemimpinan walikota yang belum dapat teratasi hingga saat ini, yaitu  banyaknya angkot yang mengakibatkan macet di sejumlah titik di Kota Bogor.Â
Bogor dijuluki kota sejuta angkot karena keberadaan angkot yang sangat banyak dan menambah kerumitan kondisi lalu lintas yang sudah ruwet.Â
Indikator kemacetan yang disebabkan angkot sangat mudah dipahami, mengingat dulu pernah menemukan bahwa ketika seluruh angkot di Bogor melakukan aksi mogok massal beberapa, kondisi lalu lintas, baik di tengah kota, maupun di wilayah penyangga Kota Bogor, relatif lebih lancar.
Dampak lingkungan yang nyata dan dialami sehari-hari adalah asap yang dikeluarkan oleh angkot menyebabkan polusi udara seperti karbon monoksida dan gas berbahaya lainnya yang ketika kita hirup akan berbahaya bagi tubuh kita dalam jangka lama karena mengandung logam berat.Â
Anomali terjadi ketika virus corona covid-19 mulai menyebar ke seantero Nusantara, termasuk ke Kota Bogor. Jalan-jalan sudah terlihat sepi dan hal ini otomatis berdampak membaiknya aspek lalu lintas dan polusi udara.Â
Bagi sopir angkot, hal ini adalah bencana karena terkait penurunan penghasilan mereka. Warga Kota Bogor sepertinya mematuhi anjuran pemerintah dan tokoh agama untuk lebih banyak beraktivitas dirumah.
Himbauan pemerintah maupun tokoh agama ini ditekankan untuk mencegah penularan virus penyebab Corona serta untuk menjamin efektivitas kebijakan 'social distancing' dalam upaya memutus penyebaran virus corona.Â
Setiap orang memiliki tanggung jawab untuk memastikan dirinya tidak menularkan virus corona kepada orang lain. Selain itu, pengelola kendaraan umum juga wajib menyeleksi penumpang di stasiun, terminal, bandara, dan pelabuhan secara ketat dengan cara mendeteksi suhu tubuh penumpang. Kebijakan-kebijakan ini secara langsung dan tidak langsung memangkas rejeki para sopir angkot di Kota Bogor.
Jumlah kasus virus corona atau covid-19 di Indonesia semakin bertambah sampai tulisan ini dibuat. Pada tanggal 25 Maret 2020, Â Indonesia memiliki 790 kasus, 58 orang meninggal, dan 31 orang dinyatakan sembuh.Â
Hal ini tentunya semakin mengkhawatirkan warga masyrakat Indonesia secara umum. Beberapa negara seperti Jepang dan Amerika Serikat sudah menerapkan kebijakan melakukan sterilisasi kendaraan umum dengan cairan disinfektan untuk mencegah penularan penyakit.Â
Seperti bus, komunter, sampai kapal feri sudah dibersihkan setidaknya empat kali sehari menyusul wabah Covid-19. Bagaimana dengan angkot?
Sebagaimana diketahui, selain dari menghirup tetesan dari seseorang yang batuk atau bersin, infeksi seperti corona virus dapat ditularkan melalui menyentuh permukaan yang terkontaminasi dengan tetesan infeksi pada mereka, baik itu tangan seseorang atau pegangan pintu angkot.
Secara psikologis hal ini membuat penumpang sangat menghindari beraktivitas menggunakan angkot karena tidak jelas tiap berapa kali angkot ini disemprot disinfektan atau berapa banyak perputaran orang keluar-masuk angkot dalam sehari dan dalam kondisi kesehatan yang seperti apa.
Permasalahan pengurangan penghasilan sopir angkot sebenarnya sudah mulai terasa sebelum ada virus covid-19 yang viral. Sejak adanya transportasi berbasis online yang murah meriah, jumlah pengguna angkot pun semakin turun drastis.Â
Penumpang mulai beralih sehingga dapat dikatakan pendapatan sopir angkot semakin berkurang banyak. Bagai jatuh tertimpa tangga, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto terus berkomitmen untuk mengurangi jumlah angkutan kota (angkot) tua yang masih beroperasi.Â
Pola yang disepakati Dishub Kota Bogor dengan pengelola angkot berbadan hukum adalah reduksi konversi 2:1. Hal ini berarti bahwa dari dua unit angkot tua akan dibesituakan akan digantikan dengan satu unit angkot tahun muda atau bisa juga baru, menyesuaikan kemampuan pengelola.
Sejumlah angkot tua yang sudah melewati batas usia operasi 20 tahun ke atas dimusnahkan dengan skema reduksi besi tua. Proses pemusnahan atau reduksi angkot yang sudah melewati batas usia operasional dengan cara dikanibal atau dipotong-potong menggunakan gerinda dan las.Â
Berdasarkan data Pemkot Bogor (2020), terdapat sekitar 1.270 angkot di pusat kota (dari lima jalur trayek utama) yang usianya sudah di atas 20 tahun. Selama beberapa bulan ke depan akan secara bertahap membesituakan angkot -angkot di Kota Bogor ini.
Berdasar fenomena diatas, kehidupan dunia transportasi angkot di Kota Bogor berada dalam sebuah dilema. Tekanan keberadaannya sangat besar dari dua sisi, yaitu sisi perubahan kebijakan Pemkot Bogor untuk mengurangi jumlahnya dan tekanan kesehatan dari adanya virus covid-19.Â
Virus corona covid-19 memang terkesan lebih menakutkan daripada kebijakan angkot Bogor. Bahkan, Wali Kota Bogor sendiri Bima Arya Sugiarto positif terinfeksi virus corona sehingga virus ini tidak dapat dianggap enteng karena dapat menjangkiti siapa saja.Â
Meskipun demikian, perlu ada terobosan bagaimana menyelesaikan masalah ekonomi para sopir angkot ini. Jika tidak, bisa jadi akan menjadi persoalan sosial baru yang justru berdampak negatif lebih besar bagi Kota Bogor *** (ASP, 2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H