Mohon tunggu...
Andi Setyo Pambudi
Andi Setyo Pambudi Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati sumberdaya air, lingkungan, kehutanan dan pembangunan daerah

Perencana Pembangunan (Development Planner)

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Merespons Peningkatan Kebutuhan Sumber Daya Air

24 Maret 2020   21:37 Diperbarui: 24 Maret 2020   21:45 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dok. Andi Setyo Pambudi

Dalam kehidupan sehari-hari, istilah lingkungan hidup telah memasyarakat baik dikalangan politik, ilmuwan maupun masyarakat pada umumnya (Pambudi, 2019). 

Lingkungan hidup berasal dari kata lingkungan dan hidup. Lingkungan diartikan sebagai daerah (kawasan, dan sebagainya) dan termasuk sumberdaya di dalamnya, sedangkan lingkungan alam kehidupan diartikan sebagai keadaan (kondisi, kekuatan) sekitar, yang mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku organisme. 

Daerah Aliran Sungai atau watershed digambarkan sebagai tempat tinggal sebagaimana penjelasan teori Miller dan Spoolman tentang ekologi. Menurut Miller dan Spoolman (2015), bagian bidang ilmu utama dari ilmu lingkungan adalah ekologi, yaitu ilmu hayati yang fokus kajiannya adalah interaksi antara organisme atau makhluk hidup dengan sesamanya dan dengan lingkungannya.

Meningkatnya pertambahan penduduk dan laju pembangunan seringkali berdampak pada terjadinya alih fungsi lahan (Soemarwoto, 1999). Konversi kawasan disuatu wilayah adalah akibat tekanan penduduk terhadap lahan menunjukkan ada peran masyarakat, baik dalam skala khusus dan secara umum yang mempengaruhi keberlajutan sumberdaya alam (Watson et al., 2014, Cumming, 2016). 

Pada banyak kasus, hal ini telah mengakibatkan terjadinya peningkatan frekuensi dan besaran banjir pada musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau. 

Keberhasilan pengelolaan DAS selalu terkait dengan konservasi sumber daya air melaluipeningkatan laju debit aliran dan  meningkatkan laju infiltrasi air hujan, dan pada saat bersamaan, juga dapat memperbaiki kualitas air sungai karena laju aliran air permukaan yang terkendali dapat mengurangi laju erosi (Dixon 1992, Nakamura 2003, Calder 2005). 

Dengan demikian, keberhasilan pengelolaan DAS dapat memainkan peran penting dalam mengelola, mengembangkan, dan/atau meningkatkan pasokan air yang dibutuhkan untuk stabilisasi ketersediaan pangan dan energi berbasis air (Gregersen dan Brooks, 2007).

Peningkatan pasokan air untuk berbagai kebutuhan pembangunan seringkali menimbulkan dua konsekuensi. Respons yang pertama adalah mengurangi konsumsi air melalui berbagai program, antara lain, melakukan inovasi teknologi untuk efisiensi pemanfaatan air, misalnya teknik irigasi hemat air. 

Pengurangan pemanfaatan air juga dapat dilakukan melalui upaya mekanisme insentif dan dis-insentif, misalnya memberikan keringanan harga air bagi pemakai air komersial yang sebagian kebutuhan airnya dipenuhi dari air hujan langsung (rainwater harvesting). 

Sebaliknya, menetapkan harga air sumur dalam dan/atau air PDAM yang cukup mahal bagi pengguna air untuk kepentingan komersial (industri, hotel, mall) yang tidak memanfaatkan air hujan langsung. 

Selain hal-hal tersebut di atas, kampanye publik untuk melakukan gerakan penghematan pemakaian air juga dapat dilakukan untuk mengendalikan jumlah pemakaian air untuk kebutuhan domestik.

Respons kedua terhadap meningkatnya kebutuhan air adalah melaui upaya pengembangan dan perbaikan pasokan sumber daya air. Upaya atau respons yang kedua ini menjadi fokus dari kegiatan konservasi sumber daya air secara terpadu. 

Program dan/atau kegiatan untuk respons kedua ini, secara prinsip, dilakukan melalui dua upaya konservasi sumber daya air, yaitu upaya konservasi dengan cara vegetatif dan upaya konservasi sumber daya air dengan cara sipil teknis atau upaya konservasi non-vegetatif. 

Kedua program konservasi sumber daya air tersebut di atas merupakan salah satu fokus penting dalam pelaksanaan pengelolaan DAS terpadu. Pengaturan tutupan lahan, baik penentuan lokasi dan luas maupun jenis vegetasi/tata guna lahan, akan menentukan seberapa besar laju infiltrasi yang akan terjadi. Proses ini merupakan teknik konservasi sumber daya air secara alamiah yang diharapkan karena murah biayanya.

Namun demikian, mempertimbangkan bahwa cara konservasi air alami tersebut belum memberikan hasil seperti yang diharapkan, maka pembuatan sarana penyimpanan air dalam bentuk waduk, kolam retensi, embung, dan telaga menjadi upaya konservasi sumber daya air juga harus dilakukan. 

Ke depan, bila kedua upaya vegetatif dan non-vegetatif tersebut masih dianggap kurang, maka upaya desalinisasi air laut dan injeksi air tanah dalam menjadi suatu hal yang tidak terelakkan.

Meskipun dibangun dengan biaya mahal, teknik konservasi sumber daya air menggunakan pendekatan struktural/sipil teknis, misalnya pembangunan waduk, lebih memberikan manfaat bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. 

Mereka dapat menggunakan langsung air dari waduk/kolam retensi tersebut untuk kepentingan domestik, pertanian, perikanan, peternakan, dan bahkan untuk menghasilkan listrik tenaga air mini bila secara teknis memungkinkan. 

Selain itu, sarana bangunan penampungan air tersebut juga mampu berfungsi sebagai sarana resapan air tanah dan sekaligus pengendali banjir di wilayah hilir DAS.

Selain pentingnya ketersediaan sumber daya air, aspek kualitas air juga tidak kalah penting dalam pengelolaan DAS terpadu. Sumber terjadinya pencemaran air sungai dan/atau tubuh air lainnya dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu pencemaran air yang bersumber dari sampah rumah tangga dan pencemaran dari aktivitas industri (point source pollution) dan pencemaran air sungai akibat aktivitas pertanian dan kegiatan yang berbasis pemanfaatan lahan di daerah tangkapan air (DTA, catchment area). 

Sumber pencemaran air yang diakibatkan oleh aktivitas berbasis lahan, utamanya alih fungsi lahan dan pemanfaatan pupuk dan pestisida berlebihan, dikenal sebagai sumber pencemaran non-point source. 

Pengendalian dan/atau pencegahan pencemaran air sungai yang berasal dari limbah rumah tangga dan aktivitas industri (point source pollution), dapat efektif dilakukan melalui mekanisme regulasi pemerintah sepanjang pelaksanaannya konsisten disertai penegakan hukum yang tegas bagi pelanggarnya. 

Namun, tidak demikian halnya dengan penanganan pencemaran air sungai dari sumber non-point sources. Untuk kasus yang terakhir ini penyebabnya lebih kompleks karena selain mencakup wilayah yang luas, pencemaran air terjadi akibat interaksi multi-faktor, antara lain, pemanfaatan lahan untuk pertanian, peternakan dan pertambangan, erosi tanah, dan longsor. 

Oleh karena itu, upaya pengendalian pencemaran air sungai dari sumber pencemar non-point sources lebih tepat dilakukan dengan pendekatan pengelolaan DAS terpadu karena fokus pengelolaannya pada stabilitasi tata air dan tanah serta perbaikan kualitas air permukaan dan air tanah.

Sekecil apapun langkah yang kita lakukan untuk mengelola DAS secara lestari, berarti ikut menjaga alam. Mari bersama-sama menjaga kesehatan DAS kita untuk generasi mendatang.

"...When we heal the earth, we heal ourselves..."

Referensi

Asdak, C. 2009. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu Berbasis Ekosistem. Makalah pada pertemuan Forum DAS Tingkat Nasional. Departemen Kehutanan. Jakarta, 10-11 Desember 2009.

Blomquist, W. and E. Schlager. 2005. Political Pitfalls of Integrated Watershed Management. Society and Natural Resources (18):101-117.

Calder, I.R. 2005. Blue Revolution: Integrated Land and Water Resource Management. Earthscan Publ. London, UK.

Cumming, G.S. (2016). The relevance and resilience of protected areas in the Anthropocene. Journal Anthropocene 13, 46--56.

Dixon J.A. (1992); Analysis and Management of Watersheds, in Partha Dasgupta and Karl- Goran Maler (ed) The Environment and Emerging Development Issues, Vol.2, ClarendonPress, Oxford.

Gregersen, H.M., P.F. Ffolliott, dan K.N. Brooks. 2007. Integrated Watershed Management: Connecting People to their Land and Water. CABI, Cambridge, MA, USA.

Miller, G.T. and S.E. Spoolman. (2015); Living in the Environment : Concepts, Connections and Solutions. Seventeenth edition. Brooks/Cole, Belmont, CA (USA

Mitchell, B., C. Priddle, D. Shrubsole, B. Veale, dan D. Walters. 2014. Integrated water resource management: lessons from conservation authorities in Ontario, Canada. International Journal of Water Resources Development. Vol. 30, No. 3, 460--474.

Nakamura, T. 2003. Ecosystem-based River Basin Management: its approach and policy-level application. Hydrological Processes (17): 2711-2725.

Pambudi, Andi Setyo. (2019). Watershed Management in Indonesia: A Regulation, Institution, and Policy Review. The Indonesian Journal of Development Planning, 3(2), 185-202. 

Soemarwoto, Otto (1999). Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

UNEP. (1983). Rain and Stormwater Harvesting in Rural Areas. Tycooly Int. Publ. Lmt. Dublin, Ireland.

Watson, J.E., Dudley, N., Segan, D.B., Hockings, M. (2014). The performance and potential of protected areas. Nature 515, 67--7

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun