Mohon tunggu...
Andi Satriani
Andi Satriani Mohon Tunggu... Guru - Ketua Program Keahlian Kimia Analisis dan Guru produktif di SMKN 6 Kendari

Ibu dua anak sekaligus guru di SMK, sangat menyukai membaca terutama yang bergenre fiksi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Coaching untuk Supervisi Akademik (Koneksi Antar Materi Modul 2.3)

7 Desember 2023   16:14 Diperbarui: 7 Desember 2023   16:21 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu paragigma berpikir coaching adalah harus berfokus pada coachee. Coach harus bisa membuat coachee lebih aktif dan terbuka dengan permasalahan yang dihadapi di lapangan. Namun, dalam prakteknya terkadang kita mendapatkan coachee yang begitu tertutup sehingga proses coaching terkesan berjalan satu arah.  Apa yang bisa dilakukan jika kita mendapati seorang coachee yang tidak mau terbuka?

Keterbukaan diri (self disclosure) merupakan kunci dari proses coaching. Menurut Lumsden (1996) self disclosure dapat membantu seseorang berkomunikasi dengan orang lain, meningkatkan kepercayaan diri serta hubungan menjadi lebih akrab. Self disclosure merupakan tindakan seseorang dalam memberikan informasi yang bersifat pribadi pada orang lain. Altman dan Taylor (1973) mengemukakan bahwa self disclosure merupakan kemampuan seseorang untuk mengungkapkan informasi diri kepada orang lain yang bertujuan untuk mencapai hubungan yang akrab. Ada dua dimensi self disclosure yaitu keluasan dan kedalaman. Keluasan berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam berkomunikasi dengan siapa saja (target person), baik orang yang baru dikenal, teman biasa, orangtua / saudara dan teman dekat. Sedangkan kedalaman berkaitan dengan topik yang akan dibicarakan baik bersifat umum maupun khusus.

Seorang coach dapat menggunakan tiga kompetensi inti coaching dalam menggali self disclosure dari coachee. Hal paling pertama adalah presence atau kehadiran penuh. Coach maupun coachee harus focus dalam sesi coaching dengan cara semisal mencari tempat yang tenang dan praktek mindfulness diawal sesi. Selanjutnya dengan mendengarkan coachee bercerita, coach dapat mengidentifikasi permasalahan dari kata kunci yang dilontarkan oleh coachee. Dalam proses mendengarkan, coach harus berpegang pada prinsip RASA (Receive, Apreciating, Resuming, Ask) sehingga bisa menghasilkan pertanyaan berbobot. Kompetensi coach sangat diperlukan dalam memberikan coaching  bagi peserta didik yang mengalami kesulitan self disclosure.

Keterkaitan modul 2.3 dengan modul sebelumnya.

Filosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan system among yang terkenal yaitu "Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani". Konsep ini sangat berkaitan dengan coaching dalam konteks pendidikan. Seorang coach menjadi teladan bagi coacheenya, baik itu murid maupun rekan sesama guru, membantu mereka membangun semangat dan memberi dorongan untuk mencapai tujuan akademik dan pribadi mereka.

Fokus pengembangan kompetensi seorang pendidik, yaitu mendesain pembelajaran yang  berpihak pada  murid yang  berdampak pada pengembangan sekolah sebagai komunitas praktik  pembelajaran. Proses pembelajaran harus bisa mengakomodasi kebutuhan belajar murid sehingga pendidik harus bisa menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dalam kelas dengan mengintegrasikan pembelajaran social dan emosional.

Jika sebelumnya guru hanya berfokus pada peningkatan kompetensi pedagogic dan keterampilan saja, maka mulai dari dari sekarang guru harus memperhatikan aspek lain atau kompetensi yang lain yaitu social dan emosional. Pembelajaran masa sekarang, terlebih setelah pandemic berakhir telah membuat peserta didik menjadi pribadi yang anti social. Peserta didik yang dihadapi merupakan Generasi Z yang tumbuh dalam era teknologi digital yang terhubung secara online. Meskipun teknologi memiliki manfaat yang besar, penggunaan berlebihan media sosial, eksposur terhadap konten negatif, cyberbullying, dan perasaan ketergantungan pada perangkat elektronik dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental.

Anak-anak didk yang dihadapi sekarang perlu dipersiapkan untuk menghadapi persaingan global sehingga guru perlu menerapkan paradigm berpikir coaching dalam berinteraksi dengan anak didik. Sebagai guru penggerak, pengetahuan ini harus disebarkan ke rekan sejawat bahkan jika perlu menjadi budaya positif di sekolah. Sekolah harus menjadi rumah kedua bagi anak didik, dimana mereka merasa nyaman dan bahagia didalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun