Mohon tunggu...
Andi Sardono
Andi Sardono Mohon Tunggu... PNS -

Saya lahir di Solo, TK di Jakarta (kawasan Bangka), SD di Banjarmasin (kawasan Kayu Tangi), SLTP di Bekasi (kawasan Babelan), SLTA di Surakarta (kawasan Pabelan), S1 di Makassar (kawasan Tamalanrea), dan kerja di Jakarta (kawasan Cawang). Lengkap sudah...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lagi-lagi Tentang Pedofilia

7 Mei 2014   17:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:46 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca dan menyaksikan tayangan berita tentang kasus pedofilia akhir-akhir ini, merinding juga ya. Ini saya rasakan sendiri, karena kami juga punya anak balita yang sedang lucu-lucunya.

Ya, anak kami itu usianya baru berumur 3 tahun lebih 9 bulan. Kalau ada buku panduan menemani dan menjaga anak balita agar terhindar dari bahaya pedofilia, rasanya itu yang utama harus kami miliki dan kami baca untuk sekarang ini, deh.

Anehnya lagi, ternyata pelaku pedofilia di Indonesia Coba lihat, seorang Emon bisa melakukan pedofilia dengan leluasa, bahkan masih bisa senyam-senyum walau jeruji besi sudah menantinya. Apa ya harus hukuman mati diterapkan di negeri ini untuk kasus pedofilia ini ya? Tapi, terlepas dari pro kontra masalah hukuman, mungkin tidak ada salahnya juga kalau pendidikan di dalam keluarga mendapat perhatian serius dari kita semua. Sudah saatnya, masalah pendidikan diserahkan full 100% ke pihak penyelenggara pendidikan, tapi komunikasi dalam keluarga mungkin juga perlu mendapat perhatian kita semua.

Contoh, Emon yang mengidap perilaku menyimpang, yang dianggap sebagai tulang punggung keluarga bagi keluarganya (tentu saja) ternyata selama ini tidak pernah bisa berkomunikasi dengan Ibunya.  Yang ada dalam pikiran Emon adalah bagaimana dia bekerja membanting tulang demi menopang ekonomi keluarganya, sementara waktu untuk bersenda gurau dengan adik dan kakaknya hampir tidak pernah ada. Alhasil, dia pun menghabiskan waktu bercandanya dengan anak-anak yang umurnya jauh di bawah usianya.

Pengalaman masa kecilnya yang konon pernah diperlakukan tak senonoh pun membekas dan hal itu mendapat pelampiasan yang cukup signifikan baginya seiring pertemanan Emon dengan anak-anak kecil di sekitar rumahnya. Ya, Emon pun melampiaskan rasa kesalnya dengan berbuat serupa terhadap sekian banyak anak-anak kecil yang pernah berteman dengannya.

Kini, sudah saatnya para pemerhati pendidikan dan pemerhati keluarga di Indonesia duduk bersama untuk menentukan bagaimana mengatasi dampak dari perbuatan Emon (dan Emon-Emon yang lain) agar generasi penerus bangsa ini tidak terpuruk jauh dan meniru kebejatan Emon.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun