Tradisi Makan dengan Alas Kappara pada Kalangan Masyarakat Bugis
Â
Masyarakat Bugis di zaman dulu memiliki tradisi makan bersama dengan menggunakan alas Kappara. Wadah Kappara atau baki alias nampan yang menjadi wadah penyimpanan makanan agar piring tidak langsung bersentuhan dengan lantai rumah dan tanah bila makan di kolom rumah. Wadah Kappara berupa nampan besi ini wadah untuk makan bersama bukan makan sendiri-sendiri atau mengambil makanan sesuai selera. Melainkan makanan disajian di atas alas Kappara yang sudah diatur dengan porsi sederhana. Sebagian kelompok masyarakat Bugis pun masih mempertahankan tradisi tersebut. Sebagian pula telah meninggalkannya lantaran kondisi untuk makan dengan alas Kappara sudah tidak memungkinkan lagi. Salah satunya konsep perumahan tempat tinggal sebagian orang di kalangan masyarakat Bugis sudah banyak bergeser dari rumah panggung kayu ke rumah batu atau dengan konsep perumahan. Namun tradisi makan dengan alas Kappara memiliki berbagai pemaknaan yang juga menjadi pandangan hidup kelompok masyarakat tersebut.
Dulunya sebut sebelum tahun 2000an bahwa rata-rata rumah masyarakat Bugis merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu dan bahkan sering dijumpai rumah panggung namun beralaskan bambu. Konsep rumah tersebut tentu dalam penyediaan makanan agar tidak mudah jatuh ke tanah sehingga diperlukan alas makanan baik itu tikar dari daun rumbia, alas daun pisang  maupun alas Kappara yang terbuat daru besi tipis itu. Jarak dari dapur ke ruang tengah yang biasa ditempati makan bersama sebab ruang dapur sangat sempit sehingga dengan alas tertentu memudahkan dalam penyajian, pengangkatan piring baik sebelum  makan maupun setelah makan.  Bahkan beberapa rumah panggung di tanah Bugis di zaman dulu, beberapa di antaranya masak di kolom rumah dan makan di atas rumah.
Penggunaan alas Kappara pun didasarkan beberapa pertimbangan secara sosial yakni makanan disajikan secara rapi, sopan dan melambangkan kebersamaan serta kedudukan sosial yang sama. Sebab makan bersama dengan alas Kappara dianggap kedudukan setiap orang sama. Demikian makan duduk bagi mereka dianggap bagus dari segi aspek kesehatan lambung dan lebih pentinnya lai bahwa kita menghargai makanan sehingga duduk sama rendah dengan sajian makanan. Â Selain aspek tersebut yang terpenting adalah persoalan efisiensi dalam penyajian hingga perapian sisa makanan nantinya bila menggunakan alas Kappara.
Seiring dengan perjalanan waktu bahwa makan bersama dengan beralaskan nampan Kappara sangat jarang digunakan bagi kalangan masyarakat Bugis. Dalam kegiatan sosial atau aktivitas ritual kebudayaan bahwa penyajian makanan dengan alas Kappara masih sering digunakan khususnya dalam aktivitas mabbaca-baca alias syukuran dalam bentuk doa bersama dan makan bersama setelah doa.
Di atas alas Kappara itulah berisi piring-piring besar untuk makanan berat dan piring-piring kecil untuk makanan ringan atau berupa sambel, alas gelas air minum. Sejumlah varian makanan ditata dengan rapi, porsi-porsi makanan pun sudah diatur dengan baik, bahkan jumlah piring disesuaikan dengan besarnya Kappara.
Dalam tradisi mabbaca, sajian makanan di atas Kappara tersebut diperuntukkan pahala sedekahnya ke keluarga yang punya hajatan. Dalam artian jika ada keluarga yang sudah meninggal duluan maka disiapkan atau diniatkan pahala sedekah makanan tersebut. Dengan Kappara ini pula menunjukkan kedudukan seseorang akan terlihat karena semakin besar sebuah Kappara atau makin banyak piringnya, maka makin tinggi pula kedudukan sosialnya di masa hidupnya. Namun hal tersebut bukan menjadi ukuran utama melainkan hanya sebatas penanda sosial.
Selain makanan berat tadi yang disiapkan, terkadang juga isi Kappara dari buah pisang, cangkuling atau kelapa parut dengan gula merah, songkolo atau beras ketan yang sudah dikukus, disertai dengan ayam bumbu lengkuas, onde-onde dan kue tradisional lain yang melambangkan kemakmuran.. Selain itu, perangkap yang utama tentu pihak tuan rumah menyiapkan siapa yang membaca barzanji serta doanya dan juga kitab barazanji yang hendak dibaca pada saat prosesi dilaksanakan.
Setelah pabbaca alias pembaca doa menutup doa bersama. Datanglah perempuan dengan sarung batik baju kebaya mempersilahkan para lelaki dewasa yang datang di rumah panggung itu. Silahkan makan! Silahkan makan! Mari makan! Demikian panggilannya berkali-kali kepada tetamu yang datang.