Perempuan Penunggu Kuburan
Langit di atas terlihat mendung. Perempuan itu tetap merenung. Ia memeluk erat nisan almarhum suaminya. Tampaknya ia begitu murung memikirkan nasibnya di kemudian hari. Hari ini tepat seratus hari kepergian Sudding. Almarhum suaminya, Sudding beberapa bulan lalu dikuburkan di sini, di TPA Sudiang. Tak jauh dari rumahnya. Hanya melewati landasan pesawat udara, persawahan, TPA dan sedikit semak-semak maka terlihatlah kompleks perumahan yang mereka beli dengan cara kredit dari hasil kerjanya berdua 3 tahun lalu.
Rambutnya terurai setelah sekian lama tak pernah ia perlihatkan begitu saja. Bahkan perlahan ia potong setiap kali ke kuburan, hasil potongan rambutnya ia simpan di atas nisan yang masih berupa gundukan dan sedikit penanda nama dari kayu. Hari ini sudah terganti dengan nisan batu, dipesan khusus oleh keluarganya untuk memberikan penanda bahwa Sudding bukanlah orang buangan, bukan orang biasa, melainkan ia lahir dari keluarga besar dari kabupaten sebelah yang kurang lebih 8 jam naik kendaraan roda dua atau roda empat.
Sedianya ia di rumah saja, cukup laki-laki saja yang datang ke kuburan memasang nisan. Begitu tradisi di kalangan muslim Bugis. Jika sudah masuk seratus hari kepergian seseorang maka di rumah mendiang diadakan ritual mabbaca setelah pemasangan nisan. Syukuran dilakukan untuk bersedekah berupa makanan, dilanjutkan dengan pemasangan nisan yang sebelumnya hanya gundukan tanah ditaburi bunga, papan nama atas nama Sudding bin Magadding.
“Di atas tanah ini telah meninggal dunia seorang yang aku sayangi”.
Tidak demikian Sumila, ia ikut ke kuburan saat pemasangan nisan baru itu yang berwarna biru tua kesukaan Sudding. Rambutnya kini botak. Ia seperti lelaki. Setiap kali ia datang ke kuburan, ia seperti sakit. Menggelar tikar dan memasang payung hitam di atas balai buatannya itu.
Dulu Sumila selalu setia menemani Sudding ke kuburan. Setiap pagi terkadang pergi bersama. Kadang pula datang belakangan tergantung pemesanan. Jika musim wabah maka Sumila menemani Sudding lembur. Terlebih di musim Covid, hampir saja Sudding jarang tidur malam di rumahnya. Sumilalah yang kerap mengantarkan makanan dan pakaian ganti. Ia setia pada suaminya.
Sepertinya mereka sudah nikah batin seakan tidak bisa berpisah. Demikian budaya di kalangan Bugis bahwa hanyalah sekali kita menikah. Tak ada perempuan yang akan dimadu. Poligami bukan budaya kita, itu budaya bangsa lain. “Menikahlah dengan kekasihmu, atau perempuan pilihan keluargamu. Sebab kita hanya sekali menikah seumur hidup. Lihatlah pisang itu, hanya sekali berbuah! Lihatlah pohon kelapa itu hanya sekali tumbuh tanpa bertangkai tanpa bercabang. Demikian prinsip di Bugis. Itulah ketika malam pacar tiba, selalu ada nasehat. Di hari pernikahan selalu ada erang-erang, bawaan termasuk pisang, bunga kelapa, sebagai simbol cintah kasih”.
Tiga tahun lalu termasuk banyak penghasilan. Banyak rumah impian bagi jenasah yang ia gali dengan baik. Memang Sudding sangat ahli membuat lubang, cekukan, sehingga setiap lubang yang ia gali jarang sekali tertimpa dengan jenasah lainnya di dalam kuburan. Ia gali ke bawah dulu, lalu membuat cekukan, dan nantinya ditutupi papan sehingga mayat di dalam tanah begitu rapi tidak gampang terbongkar.