Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Daddy Blues dan Fatherless

12 Desember 2024   10:53 Diperbarui: 12 Desember 2024   11:01 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringkali kita dengar gejala syndrome baby blues yang dialami oleh ibu-ibu yang baru melahirkan. Bukannya kebahagiaan yang menimpanya malah situasi syndrome. Tentu kejadian ini bukan atas keingin sendiri tetapi karena kondisi pribadi yang tidak stabil dan lebih besat tentunya dipengaruhi oleh di laur dari dirinya. Situasi syndrome demikian yang lebih banyak terjadi pada kalangan ibu-ibu, namun saat ini juga berkembang fenomena Daddy Blues. 

Fenomena Daddy Blues sedang menjadi trend di kalangan gen Z yang kini menjadi ayah baru. Fenomena ini menjadi polemik bagi mereka atas adanya berbagai tekanan baik tekanan pekerjaan, keuangan hingga tekanan sebagai ayah baru yang belum siap menerima segala konsekwensinya. Mereka dalam posisi ini kebanyakan berada pada fase di usia 25-30 tahun. Dalam artian secara umur tentu sudah fase dewasa namun, dari segi pematangan karakter, dan pengetahuan akan berumah tangga. Demikian keadaan keuangan belum tentu matang, meski sebelumnya merupakan keluarga berduit tetapi yang namanya keluarga baru tentu harus belajar mandiri.

Kondisi Daddy Blues merupakan kondisi emosional yang dialami bagi ayah baru. Seperti gangguan kecemasan, stress, hingga kondisi psikis lainnya. Kondisi ini dapat diatasi dengan konsultasi ke ahlinya seperti dokter. Dokter ahli dalam bidangnya tentu paham atas situasi ini dan tidak hanya kalangan biasa tetapi justru terkadang terjadi pada kalangan medis pula. Selain dari cara-cara tersebut juga perlu mencari akar permasalahan yang sebenarnya, kemudian mencari solusinya. Solusi lainnya dapat dengan healing, bantuan orang lain, atau dapat pula dengan meminimalisir beban di tempat kerja. Sebab anak juga harus menjadi prioritas, meski masalah ini akan berlalu tetapi perlu manajemen yang baik dan penanganan emosional yang matang.

Sejalan dengan hal tersebut bahwa di sisi lain pada kalangan kelompok rumah tangga tertentu mengalami fenomena fatherless. Situasi ini juga menimpa berbagai kalangan anak-anak yang memiliki orang tua dengan kesibukan super sibuk.  Fenomana ini juga tidak kalah pentingnya, sebab efeknya akan berdampak pada keadaan psikologis anak dan berdampak pada masyarakat luas. Banyak anak-anak memilih pertemanan tanpa pengontrolan ayah mereka lantaran kurangnya kontrol seorang ayah kepadanya. Dalam circle pertemanan tersebut terkadang berefek pada kesalahan pergaulan. Kesalahpergaulan pun akan berakibat pada dirinya, yang cenderung merusak diri sendiri dengan cara ngedrugs, nyabu, hingga terjebak pada dunia hitam lainnya. 

Apakah situasi ini tidak berfek kepada masyarakat luas? Tentunya berefek, sebab satu anak saja berbuat, meski merusak dirinya sendiri tetapi lambat laun juga akan merusak orang lain. Tidak hanya orang lain tetapi efek yang lebih besar lagi adalah lingkungan yang lebih luas di wilayahnya hingga membawa negara. Olehnya itu hal sederhana dalam penanganan anak baik itu karena daddy blues dan fatherless perlu penanganan dan pembinaan dari pengambil kebijakan di negara kita. Misalnya regulasi atas pendidikan wajib sembilan tahun tentu dapat mencegah pernikahan dini, orang tua juga akan mendapat edukasi atas regulasi tersebut. Selanjutnya dapat pula adanya pembatasan atau regulasi pernikahan dini sehingga menjadi warning bagi siapa saja. Harapannya agar regulasi tersebut tidak diilanggar atau tidak adanya pelonggaran. Namun yang sering terjadi juga adalah adanya pernikahan bebas alias nikah karena faktor X. Olehnya itu perlu pemerintah memberi perhatian khsuus bagi kalangan keluarga, pembinaan keluarga hingga penyejahteraan anggota keluarga baru agar tidak berefek pada generasi yang akan dilahirkannya.

Kedua fenomena ini tentu menjadi problem dalam pembinaan generasi kita dalam menyongsong bonus demografi 2045.   Siapa yang tidak ingin generasi berkualitas? Siapa yang ingin melihat anaknya tidak terurus? Lalu menyahkan life line atau takdir hidup. Sebenarnya persoalan sosial yang terjadi begitu kompleks. Butuh perhatian lebih baik kalangan orang tua, kalangan masyarakat yang berada di kompleks tertentu dan tidak abai melihat adanya pembiaran anak atau kelompok orang tua tertentu. Demikian aparat pemerintah serta kebijakan dari pemerintah perlu segera diterapkan agar tidak menjadi persoalan individu semata tetap juga permasalahn bersama kita dalam menyongsong generasi emas.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun