Di kota ini terlihat sunyi di mata orang-orang besar, perut gendut, dasi mencolong itu. Setelah semua rumah-rumah kayu dibumihanguskan, setelah orang-orang dininabobokkan dengan janji, kini ia sedang mencari orang berduit lainnya, kenapa istanaku sepi, kenapa gedung pencakar langit itu tak berpenghuni, bukankah itu kubuat untuk mereka?
Tak ada warga yang datang belanja, berkunjung ke sana butuh biaya berapa, orang-orang di sini miskin secara harta, tanah dan rumahnya kau rampas.Â
Kini hanya Kunang-Kunang berkeliaran di malam hari, itupun Kunang-Kunang terakhir.Â
Tak ada lagi odong-odongan, hanya penodongan, tak ada lagi pengemis di jalanan, jalanan sudah ditutupi gedung, pantai pun dijadikan tempat ibadah, padahal sedianya tempat angin sepoi-sepoi berhembus dari laut ke daratan, sungai sedang mencari muara tak ketemu, kini ditutupi benteng-benteng megah dengan dalih museum.
Kunang-Kunang kini terbang bebas, dari masjid, menara, dari gedung, ke museum, ia bebas tanpa kena biaya masuk, biaya parkir dan biaya rawat inap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H