Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pak Benno Pengais Sampah

5 Desember 2024   21:32 Diperbarui: 5 Desember 2024   21:44 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pengais sampah, sumber; detiknews.com

Gerimis pagi ini begitu awet. Sedari tadi menetes dari langit, gerimis membasahi pepohonan, daun, hingga ke tong sampah itu. Memang tidak deras tetapi berlangsung lama, bahkan kabarnya, gerimis ini sejak tiga hari lalu. Pagi ini, matahari pun enggan muncul, sudah berjam-jam hingga berhari-hari sampah itu basah. Bau menyengat dari berbagai arah, sebab angin tak bertiup kencang. Angin dan matahari enggan mengangkat bau tersebut ke angkasa. Bisa saja air hujan menghanyutkan sampah-sampah perkotaan itu dengan sekali turun deras sekali. Lalu sampah tersebar ke segenap ruang yang kosong. Namun tuhan punya cara lain, hujan turun bergerimis. Memang sampah tidak tercecer di mana-mana, melainkan terkumpul di tong sampah pasar. 

Tong sampah besar itu sudah dua hari penuh, sehingga jika ada tambahan sampah dari warga hanya disimpannya di teras pasar itu. Sudah 3 hari petugas sampah istirahat mengangkut sampah, kabarnya banyak sampah berserakan di kompleks perkantoran Bupati, 3 hari 3 malam tim pemenangan paslon Bupati merayakan kemenangan. Pengangkutan sampah untuk sementara difokuskan di sana. Sampah di pasar percontohan ini semakin menumpuk dan berbau. Memang ini adalah tempat pembuangan sampah sementara sebelum diangkut petugas ke tempat pembuangan akhir, tetapi bukan berarti semua warga di sekitar berhak buang sampah di sana melainkan hanya yang aktif melakukan pembayaran iuran sampah bulanan kepada petugas.

Situasi demikian dimanfaatkan Pak Benno untuk memilah sampah yang bisa didaur ulang alias dijual ke pengumpul barang bekas. Sampah yang berserakan di teras pasar membuat pak Benno kegirangan, hatinya senang ia merasa leluasa mengais sampah masyarakat di kota itu. Sesekali ia rapikan, dari sampah yang sudah dipilah tadi. Orang-orang terus berdatangan melempar sampah begitu saja, entah siapa dan dari mana saja. Sebab bukan hanya pedagang pasar. Mungkin saja mereka anak kos-kosan, penghuni rusun, penghuni apartemen atau warga perumahan di sekitar pasar.

Sepatunya yang bocor, sudah dipenuhi air rembesan sampah basah. Bajunya pun basah kuyup, terlihat di bagian ketiak, bulu-bulu berwarna hitam tumbuh memanjang dan berjarak. Baju partai yang ia kenakan itu masih sisa pemberian di pemilu tahun lalu, ia enngan membuangnya takut kualat “masa foto calon presiden terbuang di sampah basah, nanti diinjak-injak atau terbakar bersama sampah lainnya kalau kering di tempat pembuangan akhir nanti. Bayangkan saja wajah kita di dalam baju itu lalu diinjak atau dibakar.”

Pak Benno melanjutkan pekerjaannya sebagai pengais sampah. Bukan juga petugas sampah seperti yang ditunjuk oleh dinas setempat atau seseorang yang dibayar dari pedagang pasar. Boleh dikata ia adalah frelance, sekali seminggu ia menjual Jagung Lappo alias Benno dalam bahasa modernnya disebut pop corn Bugis. Itu cemilan kesukaan bagi anak-anak yang ikut ke pasar. Memang pak Benno senang melihat anak-anak senang. Harga benno-nya hanya 2 riuan per kantong kresek kecil dengan varian rasa dan warna. Di selah aktivitas menjual benno di pasar, ia manfaatkan pergi mengais sampah demi menambah penghasilannya. Dari profesi itulah orang-orang menamainya pak Benno. Pihak RT setempat pun menamainya demikian, terlihat di KTP-nya tertera nama belakang Benno. Sejak pelariannya ke kota tak ada identitas ia bawa. Nama depannya sudah benar, ia ingat persis tetapi ia seakan menyembunyikannya. Sebenarnya keluarganya orang terpandang, bahkan masih ada  garis keturunan bangsawannya. Ia menyembunyikan itu semua dari sanak keluarganya.

Hujan gerimis pagi itu terbilang hanya sedikit saja yang merasakan secara langsung. Anak-anak remaja masih asyik dalam selimut meneruskan mimpi setelah semalaman dimabukkan atas pesta tahun baruan. Orang-orang dewasa bisa saja masih sedang di dalam rumah, sedang membereskan sisa sup ayam di dapur, gorengan, hingga minuman sarabba (minuman dari jahe dan gula aren). Begitu tradisi di kota ini selain pesta kembang api, ada acara makan bersama dan meminum sarabba, minuman khas Bugis.

Ia tampak senang dengan semua sampah yang terkumpul dari kemarin sore, semalam hingga dini hari. Orang-orang berdatangan membuang sampah rumahan. Pengais sampah itu kali ini sangat diuntungkan dengan beragam sampah plastik yang ia temukan, kertas bekas dan kardus bekas dalan kantong plastik hingga sisa besi bekas. "Lumayan hari ini kita dapat banyak pundi-pundi rupiah." Terkadang ia bertanya dalam hati jika menemukan kondom di antara tumpukan sampah itu, atau hal-hal yang mencurigakan. Hanya saja ia tak mau pusing, ia hanya fokus mencari botol plastik dan benda-benda lainnya yang dapat dimanfaatkan.

Karung sampahnya penuh plastik bekas, pasti terbeli mahal soalnya masih nampak baru dan utuh. Beberapa barang antik, cukup buat mainan anak-anaknya di rumah. Istrinya akan belanja ke pasar besok setelah sampah dan barang bekas hasil mengais terjual. Selama ini hanya belanja di lapak biasa atau di paggandeng (pedagang ikan dan sayur keliling dengan motor). Itupun belanjanya di pedagang keliling hanya dua kali saja untuk kebutuhan semingguan. Pasalnya keuangan terbatas, banyak sampah barang bekas belum dibeli pedagang lantaran tidak ada yang utuh sehingga ketika dijual hanya ditimbang seharga dua hingga tiga ribuan sekilo.

***

Maryama sangat mencintai kekasihnya itu. Tetapi ia tidak diterima di keluarga suaminya lantaran beda suku. Benno pun sangat mencintai Maryama. Sejak kelas dua SMA, mereka sudah saling mengenalkan ke orang tua masing-masing. Benno kini dihantui rasa bersalah atas cinta. Jatuh cinta memang sama-sama terjatuh dalam perasaan suka bukan hanya sepihak. Begitu yang dialami pasangan suami istri itu, sehingga mereka rela hidup tunggang langgang di kota. Rumah yang mereka tempati pun tidak jelas pemiliknya siapa, hanya diberi izin oleh pemerintah setempat saat lari dari kejaran massa kala itu. Mereka berdua sembunyi di balik tumpukan sampah, namun para warga mendengar ada tangisan bayi sehingga mereka diamankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun