Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kujumpa

10 November 2024   14:38 Diperbarui: 10 November 2024   14:39 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namanya Arni. Kujumpa pertama saat ospek mahasiswa baru. Kedua kalinya saat ia tertidur di parkiran kampus, sepertinya ia kelelahan. Kujumpa ketiga kalinya saat ia urus administrasi akademik, sementara aku anak magang di kantor itu. Kujumpa keempat kalinya saat lomba debat bahasa Inggris tingkat wilayah. Aku yang anak magang kasus seperti ini adalah pekerjaanku. Aku ditugaskan mendampingi mahasiswa saat berkegiatan di luar kampus, termasuk dititipi uang jajan, transpor, hingga uang pulsa untuk dokumentasi kegiatan mahasiswa. 

Sepulang dari lomba tingkat wilayah itu, kami berpisah dari rombongan di pertigaan jalan tol Pettarani Makassar lantaran macet beruntun. Sepertinya ada demonstrasi besar-besaran pra perayaan Hari Buruh Internasional. Aku ajak ia ikut mampir minum es teler Panaikang samping kuburan Panaikang tepat berhadapan dengan taman makam pahlawan jalan Panaikang, sebagai salah satunya jalan protokol penghubung kota Makassar dengan kota Maros. Wajar jika di ujung jalan Pettarani macet parah, karena hanya ada dua jalanan menuju ke luar kota yakni jalan Panaikang dan jalan tol. 

"Aku yang bayar". Ajakku pelan kepadanya. Tempat ini memang rest area pengendara motor selepas dapat macet di pusat kota ini. 

Ia tak bisa berkata-kata. Baik sekedar terima kasih ataupun kata-kata penolakan atas ajakanku siang itu. 

"Ingin nambah, silahkan! Ini es teler favorit saya di kota ini. Namanya sangat dekat dengan ritual di kampung halamanku".

Aku kembali membuka percakapan setelah beberapa lama kami terdiam menikmati sajian es teler itu.

Ambulance lalu lalang di jalan Panaikang dari arah jalan Perintis itu. Kadang berpapasan dengan pemadam kebakaran, atau dengan demonstran bahkan pula kadang terhadang dengan rombongan supporter sepak bola jika di musim laga di kota itu. Kami berdua tidak perduli dengan suara bising itu. 

Aku terus memandangi mukanya yang polos. Entah apa yang ia pikirkan, apakah karena tidak masuk sepuluh besar di ajang lomba bahasa tingkat wilayah itu. Atau karena absen di perkuliahan. Memang ada satu kelas yang sangat menyenangkan bagi mahasiswa Sastra Inggris di kampus kami. Dosennya supel,banyak referensi, paham semua kondisi perpolitikan di luar negeri, wacana kekinian di dalam negeri, dunia sastra di luar negeri, industri kreatif, hingga hal-hal receh tang sering diungkapkan penulis kenamaan dalam karyanya. Bapak itu dosen penerjemah karya sastra handal. Ia dosen yang dirindukan mahasiswa. 

Penjual es sangat senang dengan kemacetan. Banyak orang yang mampir menepi menikmati suasana santai di atas pekuburan. Seakan minum es sembari wisata religi. 

"Kematian membututi bagi siapa saja yang bernyawa, ia selaksa air es yang mencair dari gunung es di kutub, tak bisa dibendung sebab ia akan menyatu kembali dengan alam" barisan penjual es teler Panaikang Makassar. 

Macet semakin bertambah saat rombongan mobil kompi polisi pasukan anti huru hara datang ingin membubarkan demonstran. Penjual es semakin untung. Kami seakan tergusur atas ramainya pengunjung. 

"Ayo kak, kita jalan". Sapanya pelan, saat aku ikut antri di kasir. "Diary kamu ketinggalan de?"

Entah apa di terawangan gadis itu. Aku semakin penasaran. 

Awan dari barat menggumpal, dari arah barat jalan raya para demonstran berkumpul. Tempat di depan taman makan pahlawan, yang berhadapan dengan pekuburan kristen. Namun tidak kentara lantaran ditutupi dengan tenda-tenda Coto para pedagang es teler Panaikang. Es teler tersebut kedua terenak di kota Makassar setelah es teler 77. Warga kota Makassar lebih memilih menikmati es teler Panaikang dibanding es teler 77 yang cukup branded terpajang di setiap mal di kota itu. 

Beberapa pasang mata berjumpa di tempat itu. Para pengendara yang hinggap rehat dari macet, para demonstran dari perusahaan terigu, dari perusahaan baja, perusahaan kayu, perusahaan udang, ikan, hingga perusahaan mie kering. Demikian pengendara dari arah berlawanan saling bertatap lantaran dari arah barat juga ada iringan pengantar jenazah. 

"Aku suntuk, pikiranku kacau, hari ibu pertama kali aku ke kota Makassar. Kampus hanya di ujung timur kota, tak perlu kita berjumpa dengan situasi yang penuh hiruk. Bolehkah aku pingsan sesaat?" Pintanya merayu, sembari melepas kacamata dan berbaring di tumpukan kardus kreamer milik pedagang es teler. 

Semenjak pemindahan terminal lama disulap jadi mal. Semenjak Pete Pete (penamaan public transportation) di kota ini, mulai dari 01 arah Unhas ke kota selatan Makassar , 02 hingga 08, dihentikan oleh dinas terkait, semenjak itu pula arus kendaraan begitu semrawut. Banyak orang memilih kendaraan pribadi, bayangkan ratus ribu pekerja pabrik dari arah berlawanan menuju kawasan KIMA, ribuan mahasiswa di kota ini berkendara semua menuju tujuan masing-masing, pekerja kantoran, anak sekolah semua dibiarkan baik kendaraan pribadi. Jalan begitu ramai, pengendara semakin tidak ramah. 

Mungkin bau asap knalpot membuatnya pingsan. Namun anak semester satu itu begitu sopan saat ia sakit. Adakah orang sakit yang secara sadar akan pingsan. Mungkin itu signal saja agar saya diminta menjaga motornya dari intaian para jukir liar. 

Hari semakin sore, kampus sepertinya sudah tutup, jalanan malah semakin ramai. Memang jam empat sore hingga jam kina sire juga puncak macet. Sama halnya jam tujuh pagi hingga jam sembilan pagi adalah puncak macet pagi. 

Ia tertidur pulas, tak nyaman rasanya membangunkan dari mimpi sorenya. Panggilan tak terjawab di hape kecilnya berkali-kali. Demikian pesan singkat dari kampus kalau perkuliahan sore ini dipindahkan saja ke esok paginya. Pak Rahman memang seperti rahmat bagi seluruh mahasiswa di kampus itu.

Tak sengaja ia menitipkan barang-barang pribadinya ke pangkuanku sebelum ia terlelap. Termasuk diarynya. 

"Perjumpaanku". Demikian di halaman pertama buku ini pink itu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun