"Ayo kak, kita jalan". Sapanya pelan, saat aku ikut antri di kasir. "Diary kamu ketinggalan de?"
Entah apa di terawangan gadis itu. Aku semakin penasaran.Â
Awan dari barat menggumpal, dari arah barat jalan raya para demonstran berkumpul. Tempat di depan taman makan pahlawan, yang berhadapan dengan pekuburan kristen. Namun tidak kentara lantaran ditutupi dengan tenda-tenda Coto para pedagang es teler Panaikang. Es teler tersebut kedua terenak di kota Makassar setelah es teler 77. Warga kota Makassar lebih memilih menikmati es teler Panaikang dibanding es teler 77 yang cukup branded terpajang di setiap mal di kota itu.Â
Beberapa pasang mata berjumpa di tempat itu. Para pengendara yang hinggap rehat dari macet, para demonstran dari perusahaan terigu, dari perusahaan baja, perusahaan kayu, perusahaan udang, ikan, hingga perusahaan mie kering. Demikian pengendara dari arah berlawanan saling bertatap lantaran dari arah barat juga ada iringan pengantar jenazah.Â
"Aku suntuk, pikiranku kacau, hari ibu pertama kali aku ke kota Makassar. Kampus hanya di ujung timur kota, tak perlu kita berjumpa dengan situasi yang penuh hiruk. Bolehkah aku pingsan sesaat?" Pintanya merayu, sembari melepas kacamata dan berbaring di tumpukan kardus kreamer milik pedagang es teler.Â
Semenjak pemindahan terminal lama disulap jadi mal. Semenjak Pete Pete (penamaan public transportation) di kota ini, mulai dari 01 arah Unhas ke kota selatan Makassar , 02 hingga 08, dihentikan oleh dinas terkait, semenjak itu pula arus kendaraan begitu semrawut. Banyak orang memilih kendaraan pribadi, bayangkan ratus ribu pekerja pabrik dari arah berlawanan menuju kawasan KIMA, ribuan mahasiswa di kota ini berkendara semua menuju tujuan masing-masing, pekerja kantoran, anak sekolah semua dibiarkan baik kendaraan pribadi. Jalan begitu ramai, pengendara semakin tidak ramah.Â
Mungkin bau asap knalpot membuatnya pingsan. Namun anak semester satu itu begitu sopan saat ia sakit. Adakah orang sakit yang secara sadar akan pingsan. Mungkin itu signal saja agar saya diminta menjaga motornya dari intaian para jukir liar.Â
Hari semakin sore, kampus sepertinya sudah tutup, jalanan malah semakin ramai. Memang jam empat sore hingga jam kina sire juga puncak macet. Sama halnya jam tujuh pagi hingga jam sembilan pagi adalah puncak macet pagi.Â
Ia tertidur pulas, tak nyaman rasanya membangunkan dari mimpi sorenya. Panggilan tak terjawab di hape kecilnya berkali-kali. Demikian pesan singkat dari kampus kalau perkuliahan sore ini dipindahkan saja ke esok paginya. Pak Rahman memang seperti rahmat bagi seluruh mahasiswa di kampus itu.
Tak sengaja ia menitipkan barang-barang pribadinya ke pangkuanku sebelum ia terlelap. Termasuk diarynya.Â
"Perjumpaanku". Demikian di halaman pertama buku ini pink itu.Â