Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku dan Monyet-monyet

15 April 2024   20:16 Diperbarui: 15 April 2024   21:43 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan kali ini pertama kali di bulan April. Airnya membasahi jalanan, dedaunan, tentu juga menyejukkan hati para warga Belanga. Kabut keluar dari gunung, terlihat dari jauh menyelimuti hutan taman nasional. Para monyet-monyet keluar di jalanan, mereka kelaparan menunggu para pejalan yang sering memberi makan. 

Aku menikmati jalan berliku ini menuju Camba dari arah kota Makassar. Kiri kanan, monyet-monyet berteriak kegirangan. Mereka yang sedang menyusui ikut menggendong anak-anak mereka ke pinggir jalan. Sementara monyet-monyet dewasa sedang memantau di atas pohon, memberi kode siapa yang datang. 

Sedianya monyet-monyet itu tidak diberi makan. Sebagaimana anjuran para petugas kehutanan untuk tidak memberinya makan. Mengejek monyet-monyet atau mengecewakannya. Barangkali raja monyet itu akan marah. Ternyata demikian Patung monyet itu menyambut kita saat melewati kota Maros dan di gerbang taman nasional Bantimurung Bulusaraung Maros. 

Aku mendekati pelan-pelan patung itu.

"Hai tuan, ada apa gerangan engkau mematung di situ? Bangunlah! Barangkali engkau terlalu lama terbaring di situ. Jika dihitung-hitung sudah dua ratus tahun lamanya. Kata Wallace kau ada sebelum raja kupu-kupu hadir di taman ini". Aku terus mengusiknya. Entah ia akan marah atau tidak.

"Wahai raja, aku kesal melihat kaummu diperlakukan demikian. Mereka diberi roti bukan buah-buahan dari hutan. Mereka diberi permen bukan umbian. Mereka dititipkan sampah plastik untuk dijilat lalu mereka yang tanam di tanah, bukan dedaunan yang mudah terurai". Bujukku meminta pertimbangan raja monyet itu yang belum saja terbangun dari tidurnya.

Aku terus beranikan diri untuk bercakap-cakap dengannya. Semoga ia tidak marah. Aku juga tidak berniat mengusiknya. Tapi sepulang dari Bone ke Makassar, aku kasihan melihat monyet-monyet itu dijadikan tontonan manusia. Orang-orang memberikan makanan modern lalu menertawakan kemudian memotret atau video. Tak lama setelah mereka tiba di kota, tentu mengunggahnya bahkan tak sedikit membandingkan dirinya dengan monyet. Padahal kita berasal dari tanah air yang sama.

"Monyet-monyet putih akan keluar bergerombolan, ketika akan hujan badai atau banjir melanda kota Maros". Batinku 

Salah satu monyet putih keluar menghampiriku. Seingatku, aku pernah menyaksikan rombongan monyet putih keluar dari goa lalu disusul air bah dari gunung. Aku pikir itu mitos. Lalu monyet putih itu mengantarku ke gerbang istana raja monyet. 

Rupanya raja monyet itu tidak ingin ketahuan bercakap denganku. Patungnya tetap berdiri untuk dijadikan pajangan dan teman motret para orang-orang. Monyet putih itu terus memberi signal kepadaku. Ikutlah denganku wahai manusia malang. 

"Rijal! Ada apa kau membandingkan aku. Ini tahun ke berapa masehi Jal? Aku sungguh lupa waktu lama sekali aku tertidur. Ada apa gerangan? 

Sebenarnya ia sudah tahu maksudku sebelum aku bicara. Ia sangat sakti pastinya. Tapi biarlah aku bicara sekali lagi. 

"Maaf tuan! Aku tidak mewakili kaumku. Aku datang atas rasa penasaran. Kenapa monyet-monyet itu keluar dari hutan. Mohon maaf atas kelancanganku. Mohon petunjuknya paduka raja. Aku hanya ingin mendengar petuah darimu".

"Baiklah Rijal! Monyet-monyet itu keluar lantaran di hutan sudah kurang nyaman. Sudah kurang makanan hutan. Rumah monyet juga sudah tertebang".

"Oh begitu rupanya"

"Ditambah lagi saat mereka keluar hutan, mereka malah diberi makan. Jadi begini Rijal biarlah mereka bermain-main dengan kaumku. Tapi ingat jangan menghinanya. Jangan pula kami dijadikan tempat sedekah dan tempat sampah"

"Maksud Anda tuan?"

"Iya, mereka seolah-olah bersedekah dengan memberi makan kepada monyet-monyet. Padahal masih banyak manusia kota yang butuh makanan. Mereka juga jadikan jalanan sebagai tempat nyampah". 

"Begitu rupanya, aku akan catat itu tuan. Silakan dilanjutkan istirahatnya. Mohon maaf dan terima kasih".

Begitu mentari terbenam aku langsung menutup percakapan itu. Dan aku pamit tanpa menoleh sekali pun. Aku melaju keluar dari hutan sembari memotret orang-orang yang sedang bersenang-senang melihat monyet-monyet teriak kegirangan. 

Hujan belum berhenti. Orang-orang yang lalu lalang malah berhenti setiap ada monyet yang menanti makanan. Cuaca sore itu membuat mereka semakin lapar. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun