Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merantau

15 April 2024   09:38 Diperbarui: 15 April 2024   09:40 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Nyala api ini adalah pelitaku, untaian kata ini adalah jimatku, persembahan puisi ini adalah perpisahan kita, esok setelah ayam berkokok aku akan merantau, jangan tunggu aku, lepaskan deritaku, kubur denganmu" selepas Pandu membaca sajaknya ia betul berangkat ke Tawau Malaysia. Ia ikut dengan orang dewasa, aku sudah kenal huruf, angka dan mata uang, izinkan aku berangkat, cukuplah rumpunku yang menderita di Belanga ini. 

"Kenapa tidak tunggu rapor kelas 4 diterima baru berangkat nak?" Bujuk pak Parman wali kelas 4 itu kepada Pandu. 

"Aku sudah bangga bisa baca tulis, hafal nama timnas Indonesia dan timnas Malaysia dari bapak. Itu cukup jadi bekalku nanti ketika di Tawau. Terima kasih pak" . Ia cium tangan pak Parman, ia mengajak pula guru olah raga itu berpose sebelum ia berangkat. Memang pak Parman selain sebagai guru olahraga, wali kelas, ia juga wasit profesional untuk sekelas Tarkam. Tapi pengetahuan bolanya mumpuni. Waktu beliau kuliah di keolahragaan FKIP IKIP Ujung Pandang, beberapa kali main bersama timnas Indonesia dan Malaysia. Olehnya itu menurut Pandu, berpose dengan guru itu adalah bekal menuju perantauan.

"Pakai baju buruh ini ketika sirine kapal Pelni Dorolonda berbunyi!" Pinta calo TKI itu. 

Pandu bersama orang dewasa hanya tunduk sembari memikul beras satu karung sak. Memang posturnya cukup tinggi dibanding dengan teman sekelas demikian juga dengan anak-anak seusianya. 

Pada dasarnya ia bisa bekerja jadi buruh pabrik gula Arasaoe seperti mendiang ibunya. Tapi ia tak tega dengan gaji 12 ribuan hingga 20 ribuan per minggu. Sementara keluarga Pandu tak punya lahan sawah atau kebun untuk ditempati bekerja garapan layaknya petani pada umumnya di Belanga. Entah kenapa kedua orang tuanya, kedua kakaknya tidak bisa menghasilkan uang cukup untuk makan mereka. Sementara pak Desa juga sudah memediasi kepada orang kaya Belanga agar keluarga tersebut dipekerjakan bilah mereka membutuhkan kuli pabrik, kuliah sawah atau kuli bangunan. 

Sejak Pandu lahir, ia sudah rasakan makan nasi garam tiap hari. Keluarganya jarang makan nasi ikan, atau nasi dengan lauk yang layak, terkecuali saat mereka dapat job dari orang kaya Belanga. Ditambah lagi saat umurnya 9 tahun ibunya meninggal dunia. Tahun berikutnya ayahnya kena kanker dan ginjal. Tinggallah dua kakaknya yang menghasilkan uang untuk biaya hidup sehari-hari. 

Keputusan itu sangat tepat menurut Pandu untuk ia jual dirinya ke calo TKI. Ia diberangkatkan lewat jalur laut yakni pelabuhan Parepare -Tawau. Karena Pandu masih di bawah umur yakni 11 tahun, sehingga ia harus diberangkatkan dengan cara berbeda. Calo itu punya cara tersendiri bagaimana bisa menyogok awak kapal, polisi pelabuhan dan juga mansor kelapa sawit di Tawau. 

Tawau pun, kehidupan Pandu tidak seperti TKI ilegal. Ia bersama dengan puluhan yang senasib dengannya tidak dibolehkan keluar hutan atau menginjak kota selama delapan tahun lamanya sampai ia cukup umur. Ia juga tidak dibolehkan memegang atau membuka buku rekening sebab usianya belum cukup. Sehingga gajinya setelah dipotong tiap bulan dari hasil pencaloan, ia hanya terima beberapa Ringgit. Namun. Baginya itu sudah sangat luar biasa lantaran penderitaan yang dialami keluarganya tidak sepadan dengan keadaan sekarang. 

Badannya yang kekar dan masih belia tentu tidak penyakitan. Mandor siapa pun tentu menyukainya. Baik laki-laki maupun perempuan. Di tengah hutan atau kebun sawit, mereka tidak punya hiburan yang seperti dinikmati oleh para pelancong dan TKI lainnya. Ia dan kawan TKI seusianya hanya bisa menahan diri. Tubuhnya seperti mesin uang. Apa saja bisa dimanfaatkan. Bahkan tak sedikit di antara kawanannya berkerja paruh waktu sebagai lelaki simpanan orang-orang kaya di sana yang kesepian atau ditinggal suami. Tapi tentu sifatnya kontrak dalam artian hubungan tanpa status.  Biayanya pun bergantung kemampuannya. 

*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun