Tampak hujan mengisi gentong yang kosong. Suara hujan di atas atas seng pun cukup nyaring. Foto-foto dalam bingkai seperti tatapan kosong. Suasana di rumah itu semakin mengesankan. Malam terasa panjang.
Meja makan tampak kosong. Tahun lalu kursinya masih terisi kecuali kursi di samping ayah. Memang kakak dan adikku sudah pisah rumah. Mereka sudah menikah dan mereka tinggal di masing-masing rumah berbeda.Â
Tahun lalu memang sengaja kami bersaudara sepakat untuk mudik di Belanga. Sengaja ingin berlebaran bersama ayah. Berbeda tahun ini, hanya aku yang pulang menjenguk ayah yang tinggal sendirian. Anak dan istriku tidak ikut. Sengaja mereka di rumah mertua.Â
Setelah sepulang dari makam ibu, aku sengaja memasakkan makanan kesukaan ayah. Sayur bening, kepiting masak dengan kuah santan, sambel dan terong bakar. Setelah semuanya sedia, aku bujuk ayah untuk makan berdua bersamaku. Iya duduk di kursinya sendiri, sementara aku duduk berhadapan dengannya. Sengaja aku tidak mengisi kursi ibu, aku ingin puas memandanginya.Â
"Kenapa lama baru pulang kampung nak? Tanyanya dengan suara pelan.Â
Aku pura-pura tidak mendengar bisikan itu. Terlebih ayah, jelas ia tak mendengarkan apa pun. Kecuali suara pecahan cangkang kepiting yang aku adu dengan batu uletan. Ayah tampak lahap menikmati makanan kesukaannya. Memang ibu pernah sekali mengusikku jikalau masakan kesukaan ayah seperti itu.Â
"Kamu tidak rindu ibu nak?" Suara ibu masih terus berbisik.
"Ayah silakan tambah lauk, aku masak cukup banyak kok"Â
"Apakah ayah tidak pernah dengar suara ibu? Apakah ayah selama 13 tahun sendiri di sini tidak pernah merasa aneh? Mimpi? Merasa kesepian? Maaf ayah, aku baru sempat pulang. Maklum kita orang Bugis, pantang pulang sebelum sukses. Ibarat pepatah sekali layar terkembang pantang surut ke belakang. Meski aku belum sukses ayah, tapi sedikit lagi, di penghujung". Balasku dengan harapan diaminkan oleh ayah.
"Habis ini kita ngopi bareng ayah"