Pagi ini pak Selamat begitu bersemangat. Ia berangkat lebih awal dari biasanya. Semalam ada pesta tahun baru. Orang-orang yang berpesta telah membuang sisa makanan mereka sejak semalam di tempat pembuangan sampah sementara itu. Baunya cukup menyengat, tentu lalat-lalat menyukainya. Ia memasang maskernya dengan kencang. Menyiapkan jala penangkap lalat dari kresek yang cukup menyengat itu. Sementara penangkaran lalat ia taruh tepat di hadapannya.Â
Pagi yang sedikit gerimis itu, tentu menambah bau sampah. Lalat-lalat lalu lalang di atas bau amis itu. Mereka berkerumun dengan rapi, tanpa suara. Yang mereka butuh adalah bau sampah. Mereka rela memasukkan seluruh tubuhnya dalam sampah yang busuk itu. Memang tugasnya adalah membersihkan yang bau busuk. Sehingga di mana ada bau yang membusuk di situlah lalat-lalat berada.
Pak Selamat memanfaatkan situasi busuk itu. Ia dengan senang hati menenggelamkan dirinya dalam bau yang membius bagi manusia normal. Tapi baginya adalah semakin banyak lalat tangkapannya maka ia semakin senang. Tokek di rumahnya tentu juga semakin senang. Tentunya hanya beberapa minggu saja ia pelihara akan bertambah besar tokek-tokeknya dengan segala macam warna dan ukuran itu. Tokeknya dengan senang hati memakan hasil tangkapan tuannya. Mereka tentu dengan riang memakan lalat-lalat yang gemuk itu.
Matahari pagi perlahan mengusir gerimis. Semakin ia muncul dari ufuk timur, semakin bau itu berkurang. Lalat-lalat yang tidak berhasil selamat dari perangkap pak Selamat, mereka mencoba berkerumun di dahan pohon dan di daun-daun mudah dekat tempat sampah kompleks Mangga 3 itu. Pak Selamat mencoba mencari akal agar tangkapannya banyak hari ini. Sebab sudah tiga hari tokeknya puasa makan lalat dari sampah yang busuk itu.Â
Pak Selamat tak peduli pada orang-orang yang lalu lalang di dekatnya. Ia tetap fokus mencari sumber-sumber bau yang lain. Namun ia tidak menemukan kerumunan lalat yang banyak sebagaimana titik bau sebelumnya. Itulah ia amat senang jika para pemabuk semalam membuang banyak sampah makanan di tempat itu. Ia tidak suka dengan sampah dedaunan, atau sampah plastik. Ia paling suka sampah sisa makanan atau bangkai binatang.
Tak lama berselang, istri pak Selamat membawa usus-usus ikan. Ia baru saja pulang dari lelong Makassar atau pasar ikan. Usus-usus ikan tersebut sengaja di simpan di atas wadah daun agar lalat-lalat bisa dengan senang hati berkerumun mengisap sari bau.Â
"Ini tambahan sisa makanan pak, sengaja aku pisahkan dari ikan-ikan, aku juga beli ikan busuk untuk penambah selera lalat-lalat" Ibu itu langsung memberikan usus-usus ikan beserta ikan busuk tadi kepada suaminya.Â
Memang sepasang suami istri tersebut selalu bekerjasama dengan baik. Sudah tiga puluh lima tahunan pernikahan mereka berdua, dan jarang terdengar pertengkaran. Jika sang suami marah, maka istri mengalah, demikian sebaliknya. Anak-anak mereka pun selalu menasehati kedua orang tuanya agar selalu langgeng hingga di usia senja.
"Terima kasih bu" jawabnya dengan sopan kepada istrinya.
 Pak Selamat tidak panjang lebar. Ia langsung membaca mantra pemanggil lalat. Termasuk doa selamatan agar terhindar dari wabah.Â
Kedua pasangan suami istir itu mencuri perhatian warga kompleks setiap paginya. Pasalnya tempat pembuangan sampah sementara itu berada di sudut lorong, juga jalanan alternatif antar perumahan sebelah. Sehingga banyak warga yang lalu lalang di sekitar tempat sampah itu. Sementara pak Selamat juga setiap pagi selalu bekerja menangkap lalat-lalat di tempat sampah tersebut untuk kebutuhan nutrisi tokek-tokeknya.
Tampak tokek-tokeknya pak Selamat di kandang sedang kelaparan. Antara tokek yang satu dari kandang berbeda saling bersahutan. Ada yang berukuran besar, kecil, unik dan berkarakter. Tokek-tokek tersebut rupa-rupa warnanya, tidak monoton satu warna seperti tokek penghuni rumah tua. Bahkan tokek-tokek yang ia miliki sudah ada yang bisa bunyi bertingkat dengan nada hitungan ganjil 5, 7, 9. Namun para pembeli tokek tentu tidak hanya membeli karena bunyinya tetapi yang mereka lihat sudah berapa garis-garis di tubuh tokek tersebut. Bahkan ia sudah memiliki tokek dengan ukuran 46 cm. Tentu harganya jutaan.
Tokek-tokek berada di kandang yang cantik, tepatnya di bagian belakang rumah perumahan beliau. Tokek-tokek tersebut pun bernafas dengan baik karena ada taman dan fentilasi. Ia memang memanfaatkan ruang kosong dua kali dua persegi tersebut sebagai tempat kandang binatang peliharaannya tersebut. Sudah kurang lebih tujuh tahunan ia jalani profesi tersebut sejak pensiun muda dari kerjaaannya di Surabaya. Ia eks karyawan Binamarga Surabaya.Â
Suara tokek-tokek pak Selamat saling bersahutan siang malam. Suara-suara tersebut menjadi hiburan tersendiri baginya dan keluarganya. Ia pun tidak langsung mendapatkan pembeli yang cocok. Sudah banyak pembeli yang datang silih berganti. Bahkan anak-anak pak Selamat sudah menyebarluaskan di market place tentang jual beli tokek-tokek antik dan unik.
Pagi ini sedikit mendung, bahkan di luar sana ada pelangi. Cuaca ini petanda lalat-lalat akan berkeliaran di tempat sampah. Â Tokek-tokek di belakang rumahnya saling bersahutan. Tampaknya mereka kelaparan. Lalat-lalat kemarin sudah habis semalam. Nyamuk-nyamuk di rumah beliau juga sudah terlahap habis atas tokek yang jinak beliau yang sengaja dilepas untuk pengusir nyamuk.Â
"Bapak perlu istirahat, tidak usah keluar rumah dulu. Bahkan bapak tidak perlu bersentuhan dengan binatang. Penyakit bapak sepertinya alergi dengan binatang, binatang apa pun itu" tegas pak mantri yang datang memeriksa pak Selamat.
Rupanya ia sedang terbaring sakit. Istrinya semakin bingung entah ia harus bagaimana. Hanya pak Selamat yang tahu menyelamatkan tokek-tokeknya. Hanya ia pula yang tahu menjerumuskan lalat-lalat agar dimangsa oleh tokek-tokek. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H