Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Burung-burung Pagi

29 Maret 2024   10:02 Diperbarui: 30 Maret 2024   07:50 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Burung-burung pagi itu terus mencari celah kapan bisa masuk di ruang kosong tersebut. Kadang sepasang, dua pasang atau bahkan seekor. Hanya pagi saja mereka senang masuk mencari sisa makanan yang terbuang semalam. Memang rumah ini sengaja didesain untuk ruang fentilasi di dapur. 

Cahaya mentari pagi juga selalu mengisi ruang tersebut. Demikian angin sepoi yang menelisik dari luar selepas melewati pepohonan di taman kota. Rumah ini memang sepertinya sengaja disiapkan ruang meditasi untuk penghuninya. 

Berbeda dengan rumah-rumah kota pada umumnya. Ia didesain untuk menambah ruang dapur dengan segala kitchen set, kamar, toilet, atau bahkan tempat ibadah keluarga. Sehingga tak jarang kita dengar rumah yang kosong di bagian belakang. Semua sudah dimanfaatkan pemiliknya. 

"Hei, kenapa kamu masuk rumahku tanpa izin" bentak kakek tua itu kepada burung-burung. 

Selepas diusir, burung-burung pun kembali terbang ke luar lewat fentilasi di atap yang cukup luas untuk seukuran burung. Mereka juga pandai setelah tuan rumah itu tidur-tidur ayam, maka mereka kembali masuk perlahan. Rumput-rumput basah dan kering yang mereka dapatkan di luar dibawa masuk. Sepertinya mereka punya rencana untuk membangun rumah-rumah burung di dalam rumah tetua itu.

"Aku yang masuk duluan" bisik si jantan kepada betina dan kepada kawanan burung-burung lainnya.

"Hati-hati" burung-burung lain pun mengingatkan.

"Beri kode, bilang dalam bahaya" ucap si betina yang berbulu cokelat tua itu, yang cukup imut di antara betina lainnya.

"Terima kasih" jawab si jantan sembari mengepakkan sayap, lalu menikung dari timur membelakangi sinar mentari.

Tak lama berselang ia keluar lagi. "Ada apa kawan?" Tanya kawanan burung yang tampaknya lebih tua dari si jantan tadi. 

"Tidak! Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin beritahu bahwa jangan bawa banyak rumput dari luar. Di dalam rumah tuan itu, ada rumput yang empuk di taman berukuran 2 X 2 meter persegi. Di sampingnya pula ada bebatuan dengan aliran air segar. Sepertinya si tuan ingin buat air mancur di taman, tempat ia menikmati pagi. Tapi kali ini ia tidak tidur ayam, ia tidur pulas setelah begadang semalaman menunggu waktu sahur." Terang si jantan.

"Ayo kita masuk barengan" ajak si burung tua kepada yang lainnya.

Burung-burung itu cukup nyaman di taman belakang rumah tuan. Rumah yang tak begitu luas, bahkan terbilang sempit untuk rumah perumahan kota. 

"Kalian, jangan ada yang masuk ke ruang tamu, ke kamar atau pun mengganggu tidur pagi si tuan. Jangan ada yang mengotori air di belanga itu, jemuran itu juga, jangan sampai kalian bertengger di atasnya. Kita cukup bersarang dan memberikan yang terbaik kepada si manusia itu!" Seru si burung tua. 

"Sebentar lagi matahari akan beranjak, saatnya kita berangkat ke hutan" si jantan mengingatkan. 

"Benar, kita harus beranjak segera sebelum si tuan bangun dari tidurnya, kita akan disumpahi jadi binatang jalang jika kedapatan, esok pagi kita masuk kembali dengan hati-hati " si tua menjelaskan dengan sopan kepada kawanannya sebelum meninggalkan rumah itu.

Mereka beranjak, si tuan terbangun, ia langsung mengambil air wudhu lalu shalat Dhuha. Memang waktu menunjukkan pukul 8.30 pagi. Setelah shalat, ia kembali menuntaskan bacaan di meja kerja, sesekali ia mengetik di atas mesin tik yang cukup antik itu. 

Demikian kebiasaan pagi si tuan rumah itu. Kawanan burung-burung pun demikian. Mereka tak lama membuat sarang, boleh dikata hanya beberapa menit di rumah itu. Itupun jika ada mentari pagi. 

Setelah berminggu-minggu aktivitas kawanan burung-burung itupun berhasil membuat sarang antik. Mereka damai makan pagi, minum air jernih, merasakan kehangatan si tuan rumah yang tak pernah terdengar suara kecuali suara masak, mengaji, baca puisi, atau menelpon ke cucu-cucunya. 

Sepertinya ia menghabiskan waktu bertahun-tahun di rumah itu untuk usia pensiunnya. Ia telah menghabiskan puluhan buku fiksi di taman bacanya itu. Entah karya apa yang hendak ia tuntaskan kali ini, setelah belasan karyanya terbit dan ratusan eksemplar terjual laris pada para pencinta buku cerita. 

Honor menulisnya pun tidak banyak. Dari rutinitasnya itu pun selalu mendapat kata-kata yang tidak mengenakkan dirinya. Tapi baginya bahwa setiap orang adalah tokoh dalam ceritanya kelak, setiap orang adalah ada Tuhan kecil di dalamnya jiwanya. Ia tak pernah patah semangat. Hanya semangatlah yang membuat ia keluar dari berbagai masalah besar kecil. Setiap peristiwa adalah cerita yang menarik bahkan sebuah puisi yang indah. 

Pada dasarnya ia pernah marah sekali saja dalam kurun waktu terakhir. Ia dapati burung pagi mati di taman bacanya. Ia lalu buatkan kubur kecil di taman itu. Rumput-rumput begitu subur di atasnya, air mancur keluar dari sela-sela kerikil yang ia taruh. Ia pun marah saat itu ketika burung-burung pagi masuk ke taman bacanya, ia takut ingin kuburkan di mana lagi. Di kota ini, pemakaman manusia pun begitu mahal. Izinnya cukup ribet. Pengantar jenazah pun cukup ribut di jalanan. Kasihan bagi yang mati muda, ucapnya suatu pagi dalam esainya.

*** 

Burung-burung pagi tetap menjalani rutinitasnya. Memakan rumput di atas pemakaman kawanannya yang mati muda yang telah dikubur oleh si tua itu. Mereka sesekali meminum air mancur di sela-sela kerikil di taman itu. Airnya tidak banyak tapi tak pernah habis. Sungguh jernih layaknya air zamzam andai saja di tanah suci. 

Sarang yang mereka bangun sudah cukup banyak. Liurnya pun sudah terbilang kiloan. Kelak tuan itu tersadar jika burung-burung itu membawa manfaat baginya. Burung-burung itu terus-menerus menjalankan takdirnya dan memberi manfaat kepada siapa yang Tuhan kehendaki.

*** 

Suatu pagi, si tua menguntit dari jendela. Ia memotret hingga merekam aktivitas burung-burung itu. Kemudian ia membuat puisi dengan video yang ada, lalu diunggah di akun sosmed miliknya. Entah kenapa semua orang yang melihat unggahan tersebut semua berkomentar. Bukan karena puisi tapi burung-burung itu kata warga net bahwa burung-burung itu adalah burung walet yang punya air liur cukup berprotein tinggi. Rupiah itu pak, kata salah satu netizen via DM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun