Pada dasarnya ia pernah marah sekali saja dalam kurun waktu terakhir. Ia dapati burung pagi mati di taman bacanya. Ia lalu buatkan kubur kecil di taman itu. Rumput-rumput begitu subur di atasnya, air mancur keluar dari sela-sela kerikil yang ia taruh. Ia pun marah saat itu ketika burung-burung pagi masuk ke taman bacanya, ia takut ingin kuburkan di mana lagi. Di kota ini, pemakaman manusia pun begitu mahal. Izinnya cukup ribet. Pengantar jenazah pun cukup ribut di jalanan. Kasihan bagi yang mati muda, ucapnya suatu pagi dalam esainya.
***Â
Burung-burung pagi tetap menjalani rutinitasnya. Memakan rumput di atas pemakaman kawanannya yang mati muda yang telah dikubur oleh si tua itu. Mereka sesekali meminum air mancur di sela-sela kerikil di taman itu. Airnya tidak banyak tapi tak pernah habis. Sungguh jernih layaknya air zamzam andai saja di tanah suci.Â
Sarang yang mereka bangun sudah cukup banyak. Liurnya pun sudah terbilang kiloan. Kelak tuan itu tersadar jika burung-burung itu membawa manfaat baginya. Burung-burung itu terus-menerus menjalankan takdirnya dan memberi manfaat kepada siapa yang Tuhan kehendaki.
***Â
Suatu pagi, si tua menguntit dari jendela. Ia memotret hingga merekam aktivitas burung-burung itu. Kemudian ia membuat puisi dengan video yang ada, lalu diunggah di akun sosmed miliknya. Entah kenapa semua orang yang melihat unggahan tersebut semua berkomentar. Bukan karena puisi tapi burung-burung itu kata warga net bahwa burung-burung itu adalah burung walet yang punya air liur cukup berprotein tinggi. Rupiah itu pak, kata salah satu netizen via DM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H