Burung-burung pagi itu terus mencari celah kapan bisa masuk di ruang kosong tersebut. Kadang sepasang, dua pasang atau bahkan seekor. Hanya pagi saja mereka senang masuk mencari sisa makanan yang terbuang semalam. Memang rumah ini sengaja didesain untuk ruang fentilasi di dapur.Â
Cahaya mentari pagi juga selalu mengisi ruang tersebut. Demikian angin sepoi yang menelisik dari luar selepas melewati pepohonan di taman kota. Rumah ini memang sepertinya sengaja disiapkan ruang meditasi untuk penghuninya.Â
Berbeda dengan rumah-rumah kota pada umumnya. Ia didesain untuk menambah ruang dapur dengan segala kitchen set, kamar, toilet, atau bahkan tempat ibadah keluarga. Sehingga tak jarang kita dengar rumah yang kosong di bagian belakang. Semua sudah dimanfaatkan pemiliknya.Â
"Hei, kenapa kamu masuk rumahku tanpa izin" bentak kakek tua itu kepada burung-burung.Â
Selepas diusir, burung-burung pun kembali terbang ke luar lewat fentilasi di atap yang cukup luas untuk seukuran burung. Mereka juga pandai setelah tuan rumah itu tidur-tidur ayam, maka mereka kembali masuk perlahan. Rumput-rumput basah dan kering yang mereka dapatkan di luar dibawa masuk. Sepertinya mereka punya rencana untuk membangun rumah-rumah burung di dalam rumah tetua itu.
"Aku yang masuk duluan" bisik si jantan kepada betina dan kepada kawanan burung-burung lainnya.
"Hati-hati" burung-burung lain pun mengingatkan.
"Beri kode, bilang dalam bahaya" ucap si betina yang berbulu cokelat tua itu, yang cukup imut di antara betina lainnya.
"Terima kasih" jawab si jantan sembari mengepakkan sayap, lalu menikung dari timur membelakangi sinar mentari.
Tak lama berselang ia keluar lagi. "Ada apa kawan?" Tanya kawanan burung yang tampaknya lebih tua dari si jantan tadi.Â