"Aku tak pernah meninggalkan istri dan anakku selama Ramadhan ini. Cukuplah Ramadhan yang lalu-lalu bermasalah. Aku di Jogja, anakku di Sulawesi. Tahun sebelumnya aku terbaring sakit. Tahun sebelumnya lagi sedang mengalami trouble. Ah sudahlah!" Batinku menyela.
Waktu menunjukkan pukul 3.55 WITA, kampus mulai sepi. Kerjaan belum beres. Meja kerja berantakan penuh tumpahan tinta. Paper belum kelar. Terdengar suara ambulans begitu lama berdering. Padahal bunyi ambulans sekali saja dalam tiga jam. Atau bahkan sekali sehari. Kadang pula tak pernah terdengar. Tapi kali ini bunyinya cukup lama. Itu pertanda sedang macet parah di jalan protokol dari arah Kota Makassar ke Maros.Â
Diriku semakin gelisah. Pikiran tak karuan. Belum lagi gerimis sedari tadi mewarnai cuaca di pertengahan Ramadhan ini. Teleponku terus memberikan notifikasi bahwa waktunya pulang. Ingat anak istri di rumah. Aku belum sempat izin sama anak-anak apalagi sama istri, jikalau sebentar adalah acara buka puasa bersama dengan dosen-dosen di unit kerja alias di fakultas.Â
Pelangi kali ini muncul, warna-warninya memantul ke bilik jendela ruangan kerjaku. Pikiran aneh-aneh muncul. Jikalau aku balik sekarang pukul 4 35 WITA, maka selepas magrib baru tiba di rumah lantaran gerimis dan macet di jalanan. Entah apa yang membuat macet. Biasanya sedang ada konvoi-konvoi. Tapi PSM sedang tidak bertanding. Kampus-kampus sepanjang jalan perintis pun separuh kuliah online dan separuh kuliah luring.Â
"Ayah! Cepat pulang" teriak si bungsu dari layar panggilan video.
"Ayah! Aku sakit, puasaku batal. Perutku sakit. Aku muntah tiga kali hari ini, Ayah" si sulung merayu sembari menangis.
"Ayah! kakak sakit perut, aku belum sempat keluar beli takjil. Takut tinggalkan anak-anak di rumah dalam keadaan seperti ini. Di jalan raya pun macet, sulit dapat takjil. Aku tunggu saja ayah yang belanja yah. Tidak usah terburu-buru, kami baik-baik saja kok. Tidak apa-apa telat makan malam. Di sini banyak minuman dan cemilan sisa kemarin" suara perempuan ini begitu pasrah, terdengar dari nadanya pelan tetapi begitu tegas dan membujuk agar aku segera pulangÂ
"Sudah dulu yah, Ayah izin dulu di pimpinan" balasku pelan.
Kampus kembali ramai. Orang-orang berdatangan dari kelas selepas Kuliah. Pihak catering sedari tadi merapikan meja makan, piring-piring, lauk-pauk, kue-kue, tak ketinggalan menu andalan warga Kota Makassar saat berbuka yakni jalangkote, semacam kue pastel.
Aku sendiri mencari celah, bagaimana bisa pamitan. Dengan alasan yang logis agar diizinkan. Bohong pun tentunya tidak baik. Apalagi di bulan puasa. Aku beranikan diri menelepon pimpinan saat mereka sedang transaksi dan yang lainnya sedang menjemput tamu undangan yang datang.Â