Kupu-kupu terus menikmati bunga-bunga yang basah, mereka enggan beranjak dari taman. Burung-burung pun saling bersahutan, senang menyambut suasana pagi. Cahaya sesekali membidik bilik kamar. Mentari pagi terus mencoba menembus puncak gunung di ufuk timur lalu mencari sela-sela dedaunan. Hujan pagi semalam sepertinya tidak terlalu deras, mungkin hanya ingin menyapa kemarau. Orang-orang di Belanga mengatakan kalau hujan demikian hanya sebagai penggugur bunga mangga. Bunga-bunga mangga tampak lebat, cantik sekali. Warnanya putih kekunging-kuningan.
La Baco nampak duduk di beranda rumah sembari memandangi apa saja yang terlintas. Ia enggan beranjak dari beranda rumah, entah karena hari pertama hujan. Memang dulu hujan pertama dianggap famali jika ia mengenai tubuh dan kepala kita, sebab selama kemarau hujan tersebut tertampung di atas sana bersama debu-debu.
Ia menelan perlahan kopi dinginnya. Lidahnya terus memilah rasa kopi dan gula. Layaknya kupu-kupu yang sedari tadi mencumbu saripati bunga-bunga. Aroma musim ini bisa saja melepas kemarau dan menyambut musim penghujan. La Baco pun enggan membangunkan anaknya dari mimpi pagi. Terlebih Muliati, ia hanya menjalani peran paginya. Menyiapkan kopi untuk suaminya dan teh hangat beserta bubur buat anak kesayangannya. Baginya anak laki-laki adalah pendulang rupiah. Bahkan mitos yang berkembang di Belanga bahwa semakin banyak anak laki-laki maka semakin banyak rezeki. Laki-laki dianggap pencari nafkah dan pewaris atas profesi ayahnya. Sementara anak perempuan akan dilepas kelak setelah menikah. Mereka akan dibawa pergi oleh suami dengan rumah tangga baru atau tinggal bersama mertuanya.
Muliati terus sibuk di dapur membereskan masakan. Sesekali ia turun tangga memberi makan ayam-ayam peliharaannya. Baginya bahwa makanan darinya yang harus dicicipi ayam-ayam itu sebelum mereka mengais cacing tanah di halaman atau di tanah lapang yang sedari semalam kegirangan ingin melihat hujan. Tepat di depan rumah panggung itu ada sedikit halaman, hanya sekedar tumbuhnya bunga-bunga dan dua tiga pohon mangga serta satu nangka. Lalu di depan lagi ada tanah lapang ke arah timur laut bersebelahan dengan Sekolah Dasar Ibu Kandung Belanga. Di belakang rumah mereka ada kuburan yang bersebelahan kebun kelapa dan hamparan persawahan Belanga. Nampak di kejauhan sana ada jejeran bukit, dan dia atasnya bukit itu sering disebut sebagai atap Sulawesi.
Andai saja tak ada bidadari bersama pelangi yang turun mandi di sungai Belanga, mungkin matahari pagi sudah menyisir penuh bilik itu lewat celah-celah tripleks dari penjuru timur. Atau bahkan atap Sulawesi dari arah timur seakan terbelah oleh mentari pagi. Sungguh indah dipandang mata dan membuat hati orang-orang Belanga begitu tenang lantaran susana alam itu.
Kedua orang tua mereka memang tidak pernah marah sedikit pun. Terlebih berkata kasar kepada anaknya dan kepada orang lain. Di sana tuturan orang-orang mencerminkan kelas sosial, sehingga lisan mereka selalu terjaga. Sesama tetangga jarang terdengar pertikaian, sebab hal tersebut dianggap aib. Di Belanga masih hal tabu jika mengatakan hal kasar, marah atau perkelahian. Warga Belanga hidup penuh dengan cinta, ketentraman, dan nyaris tak ada perselisihan. Kalau pun ada yang salah segera meminta maaf dan dimaafkan. Orang tua sering memberi nasehat baik lisan maupun tulisan. Apalagi jika hanya anak laki-laki yang telat bangun, tak ada yang tahu jika ia masih di kamar, dikiranya sedang membaca buku atau mengaji usai shalat.
Bahkan pemuda seusia Sumanga di jam segini sudah tidak di kamar mengurung diri. Mereka sudah di sawah, di ladang dan di sungai bagi gembala sapi, di laut bagi nelayan. Bahkan banyak pula pemuda seusianya di rantauan baik di Kalimantan, di Riau, hingga di Malaysia. Mereka di perantauan terkadang pulang sekali setahun atau nanti sekali lima tahun dengan membawa pasangan. Sebab menikah di Belanga terbilang sulit, laki-laki sedianya punya ber petak-petak sawah dan dua tiga ekor ternak sapi. Jika diuangkan berkisar 100 jutaan di luar biaya pesta. Biasanya menghabiskan biaya 200 jutaan bergantung dari besar kecilnya keluarga mempelai atau terkadang pula disesuaikan atas strata sosial mereka.
Warga Belanga selalu patuh pada pappaseng (pesan leluhur). Banyak buku-buku pappaseng di rumah La Baco. Hanya saja ia tak paham membacanya. Ia selalu menasehati diri sendiri bahwa hidup itu tak hanya butuh sabar, tentram tapi tidak sejahtera secara materi. Hidup kita harus berubah. Harus ada dalam keluarga kita yang pandai membaca, ucapnya suatu petang di hadapan Muliati.
Sumanga tak boleh mewarisi profesiku sebagai petani dan pemanjat kelapa! Batinnya menyeru sembari menyeruput kopi hingga tersisa hanya ampas. Ia sesekali usapkan ampas kopi itu ke kertas gulung cerutunya.
“Bagaimana Sumanga, sudah bangun belum? Anak itu tidak boleh jadi anak manja. Anak-anak yang kerjanya hanya makan tidur, baca buku terus-terusan, kira-kira mau jadi apa nantinya! Seru Muliati.”