Ia terus menangis di sudut kandang itu. Untung saja mendung pertama di awal tahun turut menyembunyikan wajahnya yang murung. Ternyata ia senasib dengan ibunya yang juga korban para jantan-jantan.Â
Pagi itu ia lupa sarapan. Ia tak pikir lagi soal makan. Ia hanya meratapi takdirnya sebagai binatang. Entah disembelih untuk acara adat-istiadat, disembelih secara binatang oleh para pemuda pemabuk itu, atau terjun pasa dunia pertarungan para jantan-jantan yang Bangkok itu. Ketiga pilihan itu adalah takdir, hanya saja mentalnya yang belum siap. Ia pula sempat memikirkan tuannya yang masih remaja itu. Semalam ia berangkat ke kota tahun baruan dan hingga pagi ini belum pulang melewati kandang-kandang ayam itu.Â
Mentari pagi terus menanjak mencari celah dari hujan awal tahun yang sudah diprediksi sejak kemarin. Cuaca itu tak peduli atas nasib Geya yang murung. Ia hanya tinggal mengurung diri. Entah menunggu suara motor tuannya di gadis remaja itu atau kunjungan neneknya ke kandang baru yang penuh dengan jantan petarung ituÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H