Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tahun Baru Geya

1 Januari 2024   13:19 Diperbarui: 1 Januari 2024   13:43 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untung saja sinar matahari pagi itu cukup tajam hingga menembus celah-celah bambu. Cukup untuk membangunkan Geya dari tidur -tidur ayamnya. Angin pagi cukup dingin sedari tadi. Ia terus menyendiri sembari memeluk tubuhnya yang rapuh itu. Cukup rapuh baginya tanpa ada tumpuan sedikit pun. Ia semakin dijauhi dari kawanannya sejak awal bulan Desember. Ia bahkan dicampakkan lantaran tinggal dirinya yang masih perawan. 

"Liat dirimu, sok cantik tapi masih perawan! Seru kawanan Geya. Sebentar lagi kami akan dibawa ke kota, tinggal aja kamu sendiri di situ."

Sejak saat itu, Geya selalu menyendiri. Sesekali ia datang ke neneknya si Rorowati meminta nasehat. Namun Rorowati hanya berkata apa adanya. Nak kehidupan kita di dunia ini hanya sementara waktu. Kita lahir hanya untuk menjalani takdir Kebinatangan kita. Si jantan, saudara-saudaramu yang lain serta om kamu, cukup nyaman. Ia tinggal memperbaiki bunyi, taji dan jadi petarung maka mereka terbeli. Jika sudah terbeli mereka aman dari per sembelihan orang-orang Belanga yang suka bikin pesta.

Memang orang-orang Belanga dikenal dengan adat istiadat mereka. Setiap awal panen pasti syukuran dengan doa dan selamatan. Beberapa ayam kampung pasti disembelih atau terbeli oleh tengkulak. Terlebih di malam tahun baru mereka pasti pesta besar-besaran. Akan banyak darah ayam berceceran di tanah, akan banyak betina yang dipanggang. 

"Memang daging kita empuk nek, tanyanya kepada Roro. Memang ada cara lain selain tersembeli oleh orang-orang Belanga."

"Bisa saja tidak demikian nak, ada cara lain kamu harus dekat dengan ayam jago. Kami dianggap bisa memberikan keturunan ayak jago dari jantan-jantan itu. Ussstt! Bisiknya Roro pekan ke Geya."

"Apakah aku harus menyerahkan keperawananku ke ayam peranakannya Indo Thailand itu? Apakah waktunya menyerahkan segalanya kepada mereka? Sementara aku masih muda. Semua ayam pejantan, ayam petarung sama saja. Ia hanya sekali mencoba lalu pergi ke betina lain. Batinnya berdebat sendiri.

***

Sudut kandang itu adalah saksi bisu atas kejadian semalam yang cukup mengharukan bagi Geya. Ia membelakangi matahari pagi sembari membenturkan kepalanya di bawah kursi karet bekas itu. Entah kenapa dengan Geya? Tampaknya ia merasa rugi dengan tukaran perawannya dengan kandang baru itu. Ia dipojokkan sejak kemarin sore hingga dini hari. Para jantan itu tak peduli dengan suara petasan. Semakin kencang suara petasan melangit semakin membintangi sejenisnya. Mereka bahkan bergantian mendekati lalu mengurung Geya. 

Geya sebenarnya tak terima diperlakukan sesadis ini. Dari kemarin sore sejak orang-orang bersiap berpesta ia diminta lari sejauh-jauhnya oleh neneknya. Di tengah pelariannya ia sempat berpikir untuk berlindung di kandang para ayam petarung. Kelak Ia dinikahi dan melahirkan jantan-jantan baru petarung. Harganya cukup mahal. Hanya dengan cara ini bisa lari dari pemburuan orang-orang Belanga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun