Novel Nyutraayu (Pustaka Obor Indonesia, 2022) yang ditulis oleh Joko Santoso berkisah tentang kehidupan perempuan. Perempuan bermata biru dalam kisah tersebut sangat membenci laki-laki. Bisa saja mereka adalah keturunan bangsa Eropa, atau di mata mereka ada sesuatu yang ganjal. Sebab dikisahkan dalam novel tersebutÂ
Perempuan-perempuan bermata biru tersebut merupakan perempuan yang sangat luar biasa. Mereka memiliki hal yang berbeda dengan perempuan biasa. Banyak yang menamainya penyihir, sebab ia bisa melihat masa lalu, masa depan, bahkan binatang buas jika bertatapan dengannya akan melemah. Demikian kemaluan laki-laki akan melemah jika menatap mata perempuan bermata biru tersebut, bila tanpa atas dasar cinta.
Novel tersebut terdiri dari tujuh bagian. Bagian pertama adalah Bela-Sati, bagian kedua adalah huruf, bagian ketiga tidak menyerah pada aksara, bagian keempat adalah mata masa depan, mata masa lalu, bagian kelima adalah mata biru, bagian keenam adalah tidak harus wangi, dan bagian ketujuh adalah belenggu ingatan.Â
Saat membaca bagian pertama cukup lama. Saya sangat sulit menebak isi cerita jika hanya terpaku pada bagian pertama ini. Saya pun memutuskan melanjutkan membaca pada bagian selanjutnya. Hingga bagian kedua baru sedikit memahami apa sebenarnya yang diceritakan penulis. Sebab akan terkait dari bagian pertama dan bagian kedua, tentang perempuan penyihir kemudian ia takut pada huruf. Huruf dalam artian bahwa tentang kata, surat atau sesuatu ucapan yang bisa menghidupkan dan mematikan. Demikian bagian selanjutnya yang saling terkait. Di mana perjalanan sang tokoh dari cerita yang satu ke cerita lainnya. Dari Desa ke Kota, dari Jawa ke Sulawesi, dari Sulawesi ke Kalimantan dan sebagainya. Dalam perjalanan tokoh pun selalu histeris, sehingga membuat pembaca semakin penasaran.
Saya pun membayangkan bagaimana jika di kisah nyata. Tentang perempuan yang diasingkan oleh keadaan, tentang perempuan yang tubuhnya hanya kebutuhan pemerkosaan, tentang perempuan yang hanya disinggahi oleh hajat hidup banyak lelaki hingga melahirkan anak. Tentang perempuan yang selalu menderita atas keadaan kota, keadaan buruh dan majikan, keadaan rasisme, sarkasme, dan sebagainya. Hingga jika boleh saya simpulkan bahwa perempuan-perempuan tersebut mengalami trauma berat atas hidupnya.Â
Perempuan sebagai tokoh utama tidaklah tunggal melainkan beberapa perempuan yang tidak disebutkan namanya sebagai tokoh utama. Laki-laki pun yang menjadi obyek kebencian perempuan itu tidaklah tunggal, bukan juga laki-laki atau sesuatu yang berjenis kelamin semata. Melainkan sebuah kebijakan, sebuah kota yang penuh dengan kompleksitasnya, atau bahkan laki-laki pribumi serta laki-laki Eropa yang pernah datang menjajah. Tak hanya menjajah tetapi juga menjarah hingga memperkosa perempuan -perempuan pribumi hingga melahirkan keturunan yang tanpa cinta. Lalu perempuan tersebut hidup menderita.Â
Perempuan itulah kemudian mencari keperempuanannya sendiri. Baik pada sesuatu wilayah geografis atau pada seseorang dalam diri perempuan lainnya. Dalam pencarian tersebut tidaklah mudah, hingga banyak yang meminta mati muda. Namun takdir berkata lain bahwa masih banyak yang harus dituntaskan sebelum mati (muda) tersebut.
Tentu ada yang mengawali kisah tersebut yang diceritakan oleh Mas Joko Santoso. Meski beberapa cerita terlihat kabur dari tokoh-tokoh yang sulit diterka. Siapa gerangan tokoh tersebut, apakah ia adalah anak perempuan yang ditinggal suami, anak perempuan korban pemerkosaan, anak perempuan yang lahir dari istri-istri penguasa, anak perempuan korban jual beli atau perdagangan manusia ke luar negeri demi para penguasa (baca bagian keenam).
Itulah dalam cerita tersebut huruf, kekuasaan, nafsu, logika, politik serta kota dialamatkan kepada laki-laki. Sebab laki-laki yang menciptakan huruf, huruf-huruf yang bergerak memerintah, menghidupkan dan mematikan banyak orang, huruf-huruf yang menjadi pembeda dengan huruf lainnya sehingga harus ada yang jadi korban diskriminasi. Sementara laki-laki yang terkesan melepas hajat di atas tubuh perempuan lalu ditinggal pergi. Perempuan kemudian menjalani kodratnya yakni hamil, merawat bayi, melahirkan, jaga dapur, cemas, berperasaan. Lagi-lagi perempuan yang menjadi korban atas logika laki-laki.Â
Insting laki-laki bermain logika sementara perempuan bermain perasaan. Laki-laki selalu memandang perempuan dengan logika bahwa ia cantik, tubuh yang indah, dan jadilah pelampiasan nafsu belaka hingga celaka. Demikian politik, kota dan bangunan-bangunannya, penulis menganggap bahwa konsep itu semua yang menyebabkan sebagian orang-orang akan berkorban. Misalnya gedung tidak terlepas dengan batu, pasir dan semen, serta buruh. Buruh pasir yang menjaga alam dengan ideologinya akan takut memanfaatkan sumber daya alam yang berlebihan, tetapi karena kebutuhan pasir yang banyak buat mempercantik kota maka di sana ada korban.
Kota selalu identik dengan hotel. Di bangunan hotel atau saat proses pembangunannya akan menelan korban, bisa saja ada yang harus berkorban atau dikorbankan agar pembangunan berjalan lancar. Tumbal dari pembangunan kota tidak lain manusia itu sendiri. Tanah yang sedianya menjadi media tanam akan tertancap paku bumi, ada jeritan penghuni lama yang tergantikan dengan  hias kota. Selanjutnya jika pun laki-laki yang menjadi korban maka anak dan istri mereka di rumah ikut korban. Sebab istri dan anak akan kehilangan laki-laki dalam keluarganya. Kota begitu kejam.
Di tengah perjalanan sang tokoh, ia mencari kebenaran. Di sana banyak korban-korban sebelumnya. Ia harus melihat itu, ia harus menceritakan kebenaran. Tetapi ternyata kebenaran selalu tunggal dan kesalahan selalu jamak. Sementara tokoh selalu sendirian, dalam artian akan dihancurkan oleh sistem bagi siapa saja yang melawan kebenaran.Â
 Tokoh dengan perempuan bermata biru itu dianugerahi atau dititipi semacam kemampuan yang mampu melihat masa lalu dan masa depan. Hal ini pula yang menyiksa sang tokoh. Sehingga perempuan yang bermata biru dianggap penyihir. Di mana-mana ia berada akan terusik, terusir cepat atau lambat. Ia seakan lari dan merasa menderita dengan keadaan tersebut.
Di sebuah kota, atas kepiawaian sang tokoh maka ia diminta untuk membantu menemukan beberapa korban atas indranya. Sebagian yang berhasil sebagian juga dicekal oleh penguasa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H