Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ada Rindu di Alunan Biola Ayah

20 Desember 2023   23:23 Diperbarui: 20 Desember 2023   23:34 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatih padus UIM, dokumentasi penulis 

Setelah video ini diabadikan, kami kemudian berbincang di antrian pengambilan mangkok Rawon di hotel itu. Aku mengawali percakapan kepadanya, pemilik biola itu. Kenapa dengan suara biola yang tidak kedengaran dengan baik? Bahkan tenggelam dari suara-suara lain yang bukan suara musik. Seperti suara handphone dengan nada dering yang keras tanpa mute, suara sendok makan beserta suara bisik-bisik para pejabat kampus dan pejabat pemerintah yang datang di acara wisuda tersebut. 

Padahal suara Biola harus bising. Paling tidak pemain biola menciptakan keheningan agar menjadi pusat perhatian dan keheningan para hadirin yang hadir di hotel D itu. Setidaknya Master of Ceremony, si Mr Ad itu mengarahkan para hadirin untuk tenang sesaat. Sesaat saja. Lagian musik biola tak mampu bertahan lama dimainkan, lantaran pemain musik biola butuh konsentrasi, butuh ketenangan jiwa pemainnya dan butuh sedikit energi.

Musikalisasi biola amatlah teduh dan menyejukkan bagi penikmatnya, termasuk diriku ini yang tak tahu apa-apa tentang musik. Ia hanya menyela bahwa ada permasalahan pada alat musik tersebut sehingga tidak bisa melempar suara. Kenapa tidak dihubungkan dengan pengeras suara lainnya, batinku menyela. Kenapa tidak dikonfirmasi maintenance hotel. Di hotel sudah serba ada dan serba profesional, pikirku tanpa ragu.

Si bapak tetap berupaya menjelaskan kepadaku. Terlihat  dengan caranya menyendok saus tauco, kecap, memeras jeruk nipis dengan tangan kiri, pegangan sendok kecil di tangan kanan, lalu angkatnya mangkuk perlahan ke piring makan yang memuat gundukan kerupuk itu. Ia kemudian kembali fokus pada semangkuk rawon yang jarang ditemukan di Makassar itu setelah melepas pandangannya kepadaku. Kami pun berusaha masing-masing mencari pojok yang kosong untuk menyendiri. Ia menciptakan musik, aku sendiri menciptakan puisi lewat diksi di depan mata. Termasuk benda-benda yang melambangkan cinta di atas meja itu.

Pada dasarnya ini hanya sesi tambahan dari acara tadi, jawabnya dari kejauhan seakan setiap sendokan dan suapan nasi putih ke mulutnya adalah wicara kepadaku. Adapun yang kami mau tonjolkan adalah amanat lagu Bugis tersebut, ia terus menjelaskan kepadaku dari kejauhan, seakan bathin kita berbicara tanpa ada halangan dari suara tertawa para penikmat kopi di pojok ruang yang lain. "Jikalau senja tiba, maka rindu mulai menghampiri", ini hanya interpretasi saja, batinku mencoba membenarkan. 

Kursi terjatuh ditabrak oleh seorang yang memiliki kartu nama dengan kamera. Rupanya ia bertabrakan dengan Niki, salah satu penyanyi di grup paduan suara kampus IM itu. Rupanya juga mereka mengejar perbincangan kami. Mereka berebut kursi hingga terjatuh. Jatuhnya pun tidak menciptakan irama musik yang baru. Tidak seperti biola dengan lembut. Bahkan kursi itu berhasil memecah kesunyian. 

Saling pandang terjadi, yang salah yang menang pasti. Adat di meja makan begitu adanya. Bahkan kita harus meminta maaf atas sebiji nasi yang jatuh sebelum dicium oleh lantai dan semut merah. Tapi ini kursi yang salah, sedianya didesain amat ramah kepada tetamu yang datang. Sendok, meja, kursi dan alat musik itu menyatu tanpa ada lagu baru.

Kami sama-sama memandangi arah selatan pertanda pamit dan undur diri dari perjamuan. Pertemuan ditutup oleh suara tanpa lagu baru tadi, diksi puisiku pun amat liar, hingga lupa menulis awalan dari nama pak Wim. Di tanah Bugis Makassar nama awalan amatlah penting, itulah yang menciptakan kasta. Meski pemain musik dan penulis puisi  tak perlu peduli. Tetapi pewarta dan si Niki terus memburu. Ah ditutup saja wisuda ini dengan ramah dan penuh tamah meski kita tak saling bertukar nama, tapi hari itu penuh makna.


Aku dan Niki kembali ke ruang utama tempat musik biola tadi dikalahkan oleh keramaian. Tanpak sana sini para sarjana di kampus IM yang baru saja dilantik sebagai sarjana original dan bukan kaleng-kaleng, canda rektornya. Mereka rupanya menikmati kebahagiaan di dalam gedung dengan cara saling memandang toga dan muka mereka dalam bingkai kamera.

Niki terus mengikuti pandanganku yang liar itu. Padahal sudah di dalam gedung yang masih ramai. Suara perhatian dari berbagai arah. Ia ayahku, ia mengingatkanku pada sosok ayahku pak. Ia pandai menyanyi, memainkan alat musik apa saja. Ia juga tentunya mengoleksi kaleng-kaleng di rumah, seperti ayahku yang belum sarjana itu. Dari suara besi jadi nada, suara dapur ibu pun jadi irama. Tangisanku di waktu kecil jadi lagu, keluhku pun pada tubuhku sendiri dijadikan lirik. Sungguh ayah, kau hebat. 

Itu pula yang menjerumuskanmu untuk memilih kuliah sastra di IM, lalu masuk padus dengan mulus. Tak sama ospek fakultas atau UKM lain harus mencium sendal jepit senior perempuan di pinggir pantai Tanjung Bayang, kota M. Atau membakarkan rokok senior lelaki di atas perahu karet dengan tangan basah karena punggung diduduki, luar biasa senioritas di SEMA dan di UKM. Berbeda di Padus IM, kita hanya diminta teriak dari A minor ke C lalu ke C lagi. Bisa pula karena riwayat rindu pada musik jadul. Sebab di padus IM rata-rata memainkan musik dan lagu jadul, seperti suara biola pak Win. Ah kau selalu mengingatkanku pada ayahku di kampung, padahal pak Win sudah tiba di gedung seni M sedari tadi.

Niki terus memutar video yang aku unggah di reel IG. Ia terus memandangi songkok dan wajah pak Wim. Ayahku aku rindu kamu. Biola pak Wim tak peduli siapa saja yang teriak. Musik tak pernah ingin peduli dengan teriakan. Ia hanya ikuti irama jiwa tuannya. Itulah musik punya roh. Lalu kenapa pula kau tidak masuk saja kuliah musik tradisional, batinku terus bertanya. Tetapi jika ia kuliah di jurusan lain, maka hilang lagi mahasiswi penyanyi di jurusan sastra. Atau begini saja, skripsimu nanti tentang lirik lagu, bisa juga semiotika Roland Barthes dalam memaknai simbol biola dengan lagu Bugis. Aku selalu merayu bagi mereka yang terkesan ingin pergi dari kampusku.

Ayahku! Ayahku! Aku rindu padamu. Petugas hotel itu membangunkan Niki dari lamunannya saat ia tinggal sendiri di gedung yang penuh ruang kosong.  Ia pun bergegas meraih biola bekas hadiah dari pak Win itu yang tak bersuara saat mentas di acara wisuda. Ia pula mencari handphone pinky itu. Mungkin ayahku masih di sawah. Ibu juga masih di sawah bersama ayah di jam segini. Pasti mereka menelpon sendiri lalu bertanya kapan kamu wisuda Nik?

Niki kembali mencari aroma rawon, saat terakhir ia melihat pak Win bercakap denganku. Rupanya ia tak sempat menyeduh tadi, ia hanya fokus pada dialog, suara biola, dan diksi yang tercipta. Ia rupanya lupa atas suara kursi yang terjatuh tanpa irama. Tak seperti irama kalengan ayah di kampung semasa panen tiba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun