Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mutiara yang Terpendam

9 Oktober 2023   10:04 Diperbarui: 9 Oktober 2023   11:04 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://osc.medcom.id/community/

"Tak ada yang ingin sia-sia, hidup berlama-lama tanpa, tulisan tentang dirinya, atau orang-orang menceritakan tentangnya, menulislah agar hidup lebih bermakna"

Karya sastra merupakan benda mati. Karya sastra akan mempunyai makna dan menjadi objek estetik bila dimaknai oleh pembaca. Hal tersebut merupakan upaya konkretisasi berupa pembacaan, pemaknaan, pendalaman hingga aktualisasi nilai.

Salah satu pakar ilmu sastra, sebut A Teeuw. Ia berpendapat bahwa karya sastra tidak pernah lahir dalam sebuah kekosongan buday. Karya sastra itu lahir dalam konteks yang mengikat pengarang. Konteks tersebut antara lain sejarah, politik dan sosial-budaya serta konteks lainnya sebagai hal yang melingkupi pengarang hingga sebuah teks karya sastra lahir. Sehingga teks tidak pernah lahir sendirian melainkan ada konvensi sastra yang ada sebelumnya dan tidak terlepas dari latar sosial budaya masyarakatnya. Konvensi tersebut dapat terlihat dari karya yang ada.

Karya sastra juga tidak akan mempunyai makna tanpa ada pembaca yang memberikan makna kepadanya. Oleh karena itu, seluruh situasi yang berhubungan dengan karya sastra itu haruslah diperhatikan dalam pemaknaan karya sastra.

Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Sehingga untuk memahaminya harus berdasar dengan pembacaan. Pembaca butuh pemahaman, paling tidak ilmu bahasa terlebih ilmu sastra itu sendiri.

Karya sastra tidak pernah kosong. Sebelum tercipta ada karya sebelumnya. Pengarang memberikan intensinya dengan luapan perasaan, pikiran, dan pengalaman. Ada peng-alam-an, ada pen-dalam-an, ada peng-lama-an.

Sebut cerpen (lazim disebut prosa) merupakan salah satu karya sastra selain puisi, novel dan lainnya. Dalam penulisan cerpen terkadang ada upaya pengarang menghadirkan unsur budaya di dalamnya. Unsur budaya sebagaimana konvensi yang disebutkan di awal merupakan unsur ekstrinsik atau hal yang melingkupi pengarang. Hal tersebut akan melekat pada pribadi tokoh, gambaran situasi, alamat, peristiwa yang terjadi hingga pesan moral di dalamnya.

Tak sedikit pengarang memunculkan aspek budaya tadi antara lain adat istiadat, kesenian, rumah adat, pakaian, bahasa daerah, tempat keramat, pola pikir dan sebagainya. Bukankah sebuah mutiara yang terpendam di lingkungan kita, tempat kita tumbuh, besar, dewasa, menikah, menjadi orang tua, "lalu mati kelak". Dari proses tersebut banyak nilai. Tuhan memberikan banyak tanda kebesaran di dalam kehidupan manusia. Tidak terbatas pada unsur ibadah rohaniah dan sebagainya.

Sastra akan menjadi medium suci. Jalan pemikiran seseorang hingga menjadi aspek idiologis. Dengan memberitakan sesuatu melalui medium sastra, yang buruk akan menjadi larangan dan yang baik menjadi anjuran. "Tak salah jika (karya) sastra adalah teks suci".

Almarhum Prof A Teeuw pada tahun 1970an dalam sebuah majalah pernah berkata, kira-kira seperti ini "Mengapa kita harus menggali kemuliaan Indonesia" (disadur dalam Prosiding Sembadra Universitas Sriwijaya oleh penulis Prof I Dewa Putu Wijana). Menurut Wijana bahwa hal tersebut merupakan bentuk kekesalan atas mininya peneliti sastra saat itu. Ia menambahkan bawha di dalam karya sastra ada nilai-nilai luhur. Makna penggalan tersebut bisa saja seperti ini bahwa di negara kita di Indonesia memiliki banyak kekayaan budaya yang luar biasa. Hanya saja selalu tertinggal oleh negara lain. Bisa saja lantaran keilmuan kita belum mampu menggali, mengeksplorasi hingga memanfaatkannya dengan baik. Kekayaan tersebut tidak terlepas dari unsur kebudayaan dan masyarakatnya yang heterogen.

Tak salah jika pengarang menghadirkan karya yang baik dalam bahasa yang baik kemudian berterima di masyarakat adalah jalan kemuliaan. Tak salah pula jika banyak di antara pengarang selalu saja menghadirkan teks-teks yang berbaur kebudayaan lokal. Niatan pengarang tidak lain untuk memberitakan bahwa di daerah tempat yang mempengaruhinya melahirkan karya ada peristiwa luar biasa, ada nilai-nilai yang terpendam, ada sesuatu yang berharga yang ingin diinformasikan secara tersirat. Sebaliknya ada hal-hal lain yang sifatnya larangan yang tak mesti dilakukan di era saat ini. Ada pergesaran budaya, pengetahuan hingga generasi.

Situasi inilah yang menyebabkan seorang pengarang tak luput menghadirkan unsur lokalitas dalam cerpennya agar hal tersebut sebagai jembatan ke pembaca. Posisi pengarang berada di tengah-tengah, kadang sebagai penulis saja atau kadang berperan ganda narator sekaligus penulis.

Cerpen sebagai bagian dari karya sastra diyakini dapat membangun karakter bangsa. Olehnya itu eksistensinya sangat dibutuhkan. Tak heran jika sastra menjadi sebuah ilmu, sebagai objek kajian ilmiah meski yang begitu abstrak dan multitafsir. Karya sastra merupakan benda mati yang harus dihidupkan oleh siapa saja yang ingin berdinamika secara reflektif. Karya sastra dengan unsur-unsur budaya di dalamnya merupakan sebuah mutiara yang terpendam, yang dimiliki sebuah teritori tergambar jelas dalam karya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun