Angin di Kota Turikale semalam mengantar kenangan sejarah tanah ini di masa lalu, tentang beragam kisah yang terekam ingatan, gedung-gedung tua di masa penjajahan lalu direbut pribumi kita, jadilah panggung bersama
kami melingkari kopi dan teh di atas meja lalu, semua tentang perampasan hak-hak warga Turikale diperbincangkan
Tanah Turikale adalah anugerahi ilahi, milik orang-orang pribumi, bukan milik orang-orang dari luar pulau sulabessi
atau bukan pula milik wanita-wanita perkasa itu sendiri, mereka hanya dengan satu tangan saja, bangunan bersejarah di kota ini runtuh semalam.
Cagar-cagar budaya di kota Turikale menjadi pengakuan orang-orang seluruh dunia, ia bersama dengan hutan, batu, dan keramahannyalah jua dikenang, hanya saja keringat sehari terperas, air mata air menghilang semalam entah ke mana. Ada yang bilang air-air itu semua ke kota, batu-batu itu melintasi laut dan udara entah kepada siapa tanah Turikale itu bertuan sementara debunya dihirup oleh orang Turikale sendiri.
Di malam itu, kami belajar menyeruput kopi pahit teh pekat dan menganggukkan kepala sembari menunggu perintah, sebab semalam saja tak cukup membahas generasi, ia butuh bunda baca dan bunda literasi beraksi.
Usai malam menyambut hening, lelaki peracik kopi berkata kopi dan teh ini lahir bersama manusia dari tanah Turikale
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H