Menjadi pemandangan langkah jika saat ini masih kita jumpai orang-orang yang sedang duduk santai membaca koran cetak. Pasalnya hampir setiap saat orang-orang disibukkan dengan handphone atau smartphone di tangan. Lalu mata hanya tertuju pada layar smartphone tersebut.
Koran cetak nyaris tak ada pembaca. Para pemburu berita lebih percaya pada omongan pembicaraan di warung kopi atau melalui layar handphone. Notifikasi di telepon genggam tak henti-hentinya memberikan kabar.Â
Mulai dari kasus pembunuhan berantai, polisi dan tentara gadungan diamuk massa, kasus pencabulan yang tak usai dilakukan oleh orang tua, pemerkosaan yang dilakukan oleh pemilik pondok pesantren, berita selebriti yang kawin cerai, berita KAESANG kaesang masuk PSI, hingga siapa yang layak jadi cawapres Prabowo, Anies dan Ganjar.
Dulu koran harian menjadi incaran pencari kerja, penikmat sepakbola, penulis opini ataupun pemburu teks teki silang.Â
Kini koran harian versi cetak hanya menjadi hiasan depan kasir di warkop, penutup kaca jendela, alas sadel motor, atau pembungkus makanan/ jajanan pasar.Â
Bahkan setiap lampu merah di kota besar, penjual koran berlomba lomba menjajakan dagangannya kepada pengendara. Headline koran menjadi iklan, titie is sexy.Â
Traffic light di setiap perempatan jalan, kini hanya dihiasi oleh pedagang asongan , pengamen, peminta sumbangan korban bencana alam dan manusia silver.
Para pembaca berita, opini, iklan dan hal menarik lainnya melalui koran konvensional begitu cepat mereka beralih tanpa perduli dengan nasib orang-orang yang hidup di dalam perusahaan media.Â
Cepat atau lambat  pengusaha media harus jeli melihat pangsa pasar. Para pekerja media harus segera berbenah dan beralih. Mereka harus membangun relasi yang kuat. Media konvensional dan digital harus sejalan.Â
Mutu informasi dan tayangan pun dalam koran digital harus bermanfaat. Tata bahasa hingga headline dan isi harus sesuai. Bukan hanya memburu viewers semata. Tetapi ada aspek nilai informatif dan edukasi serta literasi yang harus dipertahankan.Â