Setiap awal kemarau hingga akhir kemarau, kampung Belanga seperti kedatangan tamu. Para pemuda yang telah merantau, mereka kembali ke kampung halaman. Tentunya mereka membawa sesuatu baik itu berita rencana pernikahan mereka atau sebaliknya rencana kepulangan kembali di perantauan.Â
Demikian rata-rata remaja yang baru saja tamat sekolah menengah langsung diberangkatkan oleh orang tua mereka untuk merantau. Sepertinya mereka terlalu percaya akan pernyataan "merantau lah niscaya kamu akan sukses" kalau pun belum sukses engkau malu untuk kembali, kembali pun pasti tidak dengan tangan kosong paling tidak ada cerita baru yang menjadi warna-warni tongkrongan malam di pos ronda saat kemarau kembali tiba.Â
Pardi adalah siswa kelas lima SD Ibu Kandung Belanga. Selepas mentas di acara 17-an, ia ikut di rombongan perantau yang akan berangkat dini hari lewat jalur pelabuhan Parepare. Kapal itu langsung ke Tawau, negeri Jiran Malaysia. Dengan belasan pemuda, ia tak mengenal malu di hadapan mereka. Lantas hanya dia yang belum berijazah SD.Â
Badannya yang kekar itu adalah modal utama. Pasti calo dan mandor kelapa sawit sangat menyukai para pekerja polos yang kuat. Biaya sakitnya sangat sedikit, bahkan di usia seperti Pardi tak ada biaya rumah sakit, berbeda dengan pekerja tua setiap bulan harus berobat dua kali seminggu. Sehingga kondisi tersebut mandor bisa tekor dan calo tentu selalu dapat marah.
"Aku sudah pintar membaca, semalam aku juara lomba baca puisi".Â
Atas dasar itu ia berani berangkat ke Malaysia sebagai buruh kebun sawit di sana. Dengan modal sejuta, ia sangat percaya diri. Lina ratus ribu ia gunakan untuk sogokan kepada calo selebihnya adalah biaya hidup di sana.Â
Entah berapa lama ia akan diperkerjakan oleh mandor dan calo. Semakin lama ia tinggal menganggur maka semakin banyak yang harus ia bayar kepada calo. Sebab makanan dan biaya hidup lainnya ditanggung oleh calo.
Pardi bersama lelaki Belanga lainnya yang bekerja di kebun sawit tidak pernah melihat kota, apalagi ibu kota negara Malaysia. Ia dan rekanannya hanya tahu bekerja, rumah dan kapan dipulangkan ke negaranya. Ia tak pernah melihat kerkap kerlip lampu kota di malam hari. Ia hanya setiap hari memandangi kelapa sawit, dari bibit, pohon kecil, pohon besar, buah hingga minyaknya yang begitu licin.Â
Baginya di tengah hutan yang merupakan bagian dari wilayah geografis negara Malaysia itu adalah pikirnya hanya di Indonesia atau lingkup pulau Indonesia. Memang satu kepulauan dengan pulau Kalimantan. Bahkan sebagian dari pekerja ilegal itu masuk lewat jalur darat. Namun tentu biaya calo sedikit lebih banyak, bahkan tiga bulan pertama upahnya akan dipotong untuk sogokan petugas perbatasan kedua negara itu.Â
Jadi pekerja kelapa sawit sangatlah menjanjikan bagi para perantau itu. Sebab ia digaji Ringgit Malaysia dan lalu ditransfer ke Rupiah. Jutaan pekerja ilegal di hutan sawit itu begitu bahagia nantinya setelah puluhan tahun merantau. Sebab ia bisa menikah tanpa harus jual sawah orang tua di Belanga. Mereka pun bisa kerja di Indonesia jadi burung pabrik atau buruh bangunan jika sewaktu-waktu aturan penyebarangan begitu ketat.Â
***Â
Hari ini Pardi dapat kabar lewat surat dari pekerja baru yang datang kalau saja ibunya meninggal Duni sebulan lalu. Ia diminta untuk pulang menziarahi kuburan ibunya dan juga diminta membayar biaya kematian mendiang ibunya. Konon di Belanga bahwa biaya kematian juga terkadang cukup tinggi, bahkan biasa mencapai 10 jutaan. Biaya penguburan 1 juta, perlengkapan mayat 700 ribu, biaya pengajian dari hari pertama hingga hari ketujuh mencapai 3 jutaan, biaya 7 hari yakni pemasangan nisan dan biaya makan tamu undangan (sudah termasuk 1 ekor sapi) yakni 7 jutaan.Â
"Terkadang ada anekdot bagi perantau dari Belanga bahwa tolong jangan meninggal dulu bagi orang tua kami sebelum anak kamu ibu sukses di Tawau".
Delapan tahun setelah perantauan Pardi, dalam artian baru saat ini ia berumur 19 tahun dan ia harus kembali ke negaranya.
"Selamat datang di Belanga, selamat datang di ibu kandung Belanga".Â
Tibalah Pardi di tangga pertama rumah tua itu yang dibangun oleh rumah tangga Pandu dan Jumi binti Hardi. Ia memeluk erat tangga demi tangga, hingga menggapai tangga keduabelas. Selepas ia menangis dan disaksikan oleh kerumunan para orang kampung, ia lalu diantar ke kuburan tepat di belakang rumahnya.Â
Pak imam Belanga ikut menuntunnya ke kuburan ibunya. Demikian tradisi di sana jika seseorang ingin ke kuburan pertamakali maka harus ditemani oleh orang pintar dalam bidang agama. Agar yang bersangkutan tidak berbuat konyol, menangis tak henti hentinya atau hal lain yang sifatnya mencelakakan dirinya. Pak imam membiarkan Pardi menangis lalu ia berikan nasehat bahwa ibumu telah kembali dengan tenang. Selama ini ibumu belum tenang semasa hidupnya. Konon ia memikirkan banyak hal, sekolahmu yang tidak tamat, pernikahanmu kelak, warisan ibu ayahmu yang tak begitu banyak.Â
Langkahnya begitu berat meninggalkan kuburan ibunya yang mana nisannya hampir berlumut setelah setahun terkena hujan, kemarau dan hujan lagi. Kakinya berlumpur, tangan kanannya memegang tongkat sementara tangan kirinya memegang patung hitam untuk memayungi pa Imam yang sedari tadi mengaji di depan nisan dan masih saja terkena tempias rintik hujan.
"Sesampai di tanah air, tinggallah setahun dua tahun, calo kamu sedang tertangkap di perbatasan Kalimantan, teman-teman kamu di sini terjebak di hutan mungkin bertahun-tahun hingga pemilu di Malaysia usai, ada sedikit upah kamu sudah ditransfer, mungkin cukup untuk biaya nikahan di sana, selamat berjumpa dengan keluarga, doa terbaik buat ibumu. Salam dari mandor Cang, di Tawau".Â
Kini ada dua surat di genggaman Pardi, satu adalah surat info dukacita dan satunya surat pemberhentian kerja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H