Para gadis passangki itu yang berangkat dengan mobil Thames Trader adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi. Setiap libur semester kuiah mereka berangkat kemana saja mencari lokasi panen padi termasuk di Belanga. Pada dasarnya mereka juga punya lahan di kampungnya tetapi ini hanya strategi mengumpulkan ppadi/ beras sebagai persiapan di lumbungnya. Sejak krisis moneter pada rentang waktu 90-an, warga di kampungnya harus mencari beras sebanyak-banyaknya sebagai persediaan selama berbuan-bulan hingga bertahun-tahun. Beras di sana dianggap seperti emas berlian, tidak boleh dijual apalagi dihabiskan begitu saja. Prinsip mereka buat apa punya banyak uang jika tidak punya beras. Sehingga beras seperti dewi Shanghyang Seri yang selalu disembah dan dipuja setiap musim panen tiba.
**
Seminggu hingga dua minggu telah berlalu, mobil-mobil Thames Trader berdatangan satu per satu menjemput rombongan para passangki.Â
Lelaki Belanga tanpak murung mereka seakan kehilangan kenalan, tapi para orang tua Belanga dan orang tua passangki itu saling tukar alamat dalam artian setiap lebaran tiba bisa saling mengunjungi bahkan jika ada anak-anak mereka yang saling suka satu sama lain dapat saja dinikahkan baik itu nikah muda maupun nikah saat setelah tamat kuliah para gadis itu atau setelah selepas perantauan lelaki Belanga. Justru yang bersedih adalah anak-anak cabe-cabean, anak-anak di bawah umur. Sebab mereka tak bisa lagi keluar malam, mereka tidak bisa lagi ke pasar malam. Mereka akan kesepian di siang dan di malam hari. Demikian warung-warung tenda, warung dadakan akan kembali sepi pengunjung.Â
Tangis haru tak terdengar lagi bagi lelaki Belanga lantaran suara knalpot mobil Thames Raider yang sangat bising. Tapi terlihat tangan para gadis-gadis itu melambai yang semakin menjauh semakin menyimpan rindu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H