Pukul satu malam terdengar suara klakson Thames Trader. Sontak para warga kampung Belanga terbangun dan berlarian ke luar ke pinggir jalan. Tepat di depan rumah panggung itu memang batas jalanan aspal menuju jalan ke dusun-dusun Desa Belanga. Suara sepatu laras seakan memperagakan parodi. Terlihat ibu-ibu yang lain melompat satu per satu turun dari mobil itu. Ada yang menjinjing kayu bakar, ada yang menaruh dapo' (alat masak dengan kayu) di taruh di kepalanya. Para remaja yang turun dari  mobil itu bertugas memikul Sampa' (alat pemanen padi) dan juga memikul rempah-rempah serta oleh-oleh untuk warga di sana. Sementara gadis-gadis hanya fokus mengurusi jinjingan pakaian dalam balutan sarung serta sibuk mengurusi alat make up-nya di antaranya bedak pica' (bedak basah) dan cermin lebar. Para gadis itu seakan datang mencari jodoh di kampung itu sehingga selalu saja menjadi pusat perhatian dari para pemuda Belanga yang ikut terbangun dari pos ronda.
***Â
Ayam-ayam sebagian masih merapikan bulu-bulu mereka yang semalam terlipat dan sulit tidur atas keributan yang dibuat para rombongan dari mobil-mobil Thames Trader itu. Mereka belum sempat berkokok, tua muda, remaja dan gadis sedang antri di sumur tembok. Ada yang menimbah air ke sumur, ada yang menggayuh memindahkannya ke wadah yang satu ke wadah yang lain. Tak ada yang berani mandi telanjang semua menggunakan sarung bawaan mereka. Terlihat seperti jejeran antrian sembako di kantor desa. Terjejer dua-tiga baris sedang mandi berjamaah.
Sinar matahari di pagi itu beum sempat memantulkan cahayanya ke gunung di pinggir kampung Belanga. Suasana seakan hening. Para rombongan dari mobil Thames Trader itu seakan lenyap. Rupanya mereka sudah beroperasi di sawah-sawah sebagaimana yang digambarkan oleh pak Desa Belanga. Mereka tidak ingin pusing siapa tuan tanah dari sawah-sawah berisi padi menguning yang mereka panen itu. Yang mereka tahu bahwa dari hasil panen ia dapatkan masing-masing satu ember besar dari tujuh ember hasil bersih yang diperoleh. Dalam artian sistem bagi hasil tujuh ember keluar satu. Tujuh ember pemilik yang ditaruh di pematang sawah dan mereka membawah satu ember ke rumah.
Panggilan shalat seakan bersahutan dan terpantul-pantul di pinggir gunung. Para rombongan sudah berjejer di pematang sawah, ada yang ke pinggir gunung mencari sepoi, ada pula yang ke sungai. Sementara para remaja dari kelompok mereka masih sedang sibuk memikul padi yang sudah terisi dalam karung. Padi untuk pemilik mereka rapikan di pematang, sementara padi untuk bagian mereka sedang dipikul di rumah penginapan tempat mereka di tampung sementara. Sebab balai desa tidak cukup untuk menampung mereka semua.
 Tunggang gunung, cahaya memerah di ufuk Barat. Mereka sudah nampak rapi berjejer di pinggiran jalan. Para gadis nampak memesona dengan balutan bedak pica' di muka mereka. Penjual kacang, penjual mainan, warung tenda-tenda di lapangan sudah mulai ramai kedatangan para penikmat malam. Warna-warni mengkilau di bawah bulan purnama pertanda pasar malam sudah dibuka. Para remaja Belanga tak membatasi diri untuk mereka disapa oleh mereka yang sedang mengais rezeki.Â
Ayu-Mira, Anto-Wani, Budi-Ani, At-Andi, Maya-Bagong. Mereka saling bertukar nama. Para remaja kampung Belanga tidak menampakkan dirinya kalau mereka anak tuan tanah. Toh mereka juga akan merantau atau jadi pelaut kecuali mereka nikah muda. sebab prinsip hidup tuan tanah di Belang adalah bagaimana mendidik anak mereka untuk pencari uang. Setiap orang adalah pekerja dan setiap orang adalah uang. Sehingga para pemuda Belang tidak akan berani yang tinggal bersama dengan orang tua mereka sebab sebelum dan setelah nikah mereka harus cari uang sendiri tanpa ada bantuan dari orang tua, apalagi warisan. Para gadis passangki (sapaan bagi orang-orang yang pergi memanen padi) juga tak peduli kalau saja mereka adalah gadis-gadis pekerja yang berangkat sejak subuh hari dan pulang sebelum matahari tenggelam betul.  Orang tua para gadis-gadis passangki itu membiarkan saja anak-anaknya. Kalau mereka pergi bergaul, harus berada di dalam kelambu ibu tepat pukul sepuluh malam sebab pagi harinya mereka harus berangkat memanen padi.Â
Bergaul dengan lelaki di luar famili mereka atau beda kabupaten adalah sebuah anugrah. Sebab jika kedepan yang berhasil menikah dengan lelaki di luar famili atau sekampung dianggap panutan. Sejak jaman penjajahan, suasana di kampung para gadis passangki itu seperti hambar. Bahasa cuman satu ragam yakni bahasa bugis melayu yang melambai dan melandai, bahkan terkadang mendayu-dayu layaknya jalanan belokan menuju kampung mereka. Mendapatkan keturunan dari lelaki Belanga adalah anugrah sebab mereka akan jadi pengusaha dan pemburu dollar sejati. Di kampung para gadis itu dikenal bahwa Belanga adalah kampung para saudagar. Sementara di kampung mereka sendiri yang dianggap orang adalah berpakaian dinas alias PNS sehingga sapaan puang tak akan hilang dari dayuan setiap hari bagi.Â
Hal yang berbeda dengan lelaki di kampung gadis itu bahwa mereka tidak boleh menikah ke luar. Sebab ada garis keturunan dan ada warisan yang harus dipertahankan. Di jaman penjajahan Belanda, sungguh menyiksa bagi nenek moyang mereka berjuang mempertahankan tanah adat, tanah sawah, tanah kebun hingga kebudayaan. Itulah kebalikan dari Belanga.
Sementara di Belanga, sejak lengsernya presiden Soeharto dan dibubarkannya gerombolan DI TII di tanah Belanga, maka adat istiadat seperti di kampung para gadis Passangki itu sudah terkikis hingga habis. Di Belanga orang berjuang bagaimana bisa kaya. Sebab tanpa harta tanah mereka akan tergusur dari proyek perkerataapian nantinya. Bahkan sebagian tanah di kampung Belanga sudah diakui sebagai hutan lindung, tanah taman nasional, hingga tanah Unesco katanya lantaran begitu indahnya kampung batu karrst seantero Belanga. Itulah sebabnya para lelaki harus menikah ke luar alias mencari pasangan di luar Belanga. Mencari orang kaya, anak pengusaha agar kelak tanah warisan orang tuanya dapat terbeli kembali. Sehingga usia sembilan belas hingga tiga puluh tahunan ada;ah usia produktif bagi anak tuan tanah Belanga untuk berlayar mencari taripang laut (alias cuan). Â