Ibu....kesejukan embun pagi ini menemaniku di pusaranmu. Aku melihat nisan bertuliskan bak nama pahlawan yang pernah berjasa. Berjasa memerdekakan buah pikiran dan buah hatinya. Hari ini adalah tepat bulan Juni, bulan di mana kita pernah bersaksi bersama melihat kemarau berkepanjangan di negeri kita. Bertahun-tahun kita adakan ritual meminta hujan, berkali-kali kita tamatkan puisi hujan bulan juni sapardi, hujan tak jua turun. Pernah sekali kita panen, semua orang bergerombol di depan rumah panggung kita menyaksikan tarian pesta panen dengan alu-alu punggung, bakul-bakul dijinjing, para lelaki memikul pacul.Â
Hari ini di pusaranmu terlihat berdebu. Hari ini di depan ruamh kita, ornag-orang kembali berkumpul. Namun tidak sedang berpesta tani. Para petani sedang berpesta bersama pahlawan rakyat, katanya mereka ingin merdeka juga layaknya Ibu dulu memerdekakan  pikiran dan buah hati ibu. Aku hanya bilang hati-hati saja dengan buah pikiran dan buah hati. Mereka tak perduli.
Di pusaran ibu  yang tersisa adalah gambar mode diam bukan mode getar. mengingat kenangan ibu hatiku terdiam kakiku gemetar. Entah lapisan waktu dan lembaran kisah ini semoga saja tak pernah pudar. Janjiku kepada ibu tidak jadi abu-abu hingga tulang-tualngku jadi abu yang juga akan terbasuh dari nisan yang berdebu. Ibu di sini aku menyapu, sedikit tersipu malu atas masa lalu yang selalu menghantui masa depanku. Tapi ibu tak usah ragu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI