Indonesia masih saja terus diperhadapkan dengan kasus kekerasan seksual yang berlangsung di lingkungan pendidikan. Baik dalam ranah pendidikan keagamaan (seperti pondok pesantren) maupun pendidikan umum hingga perguruan tinggi.Â
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KEMENPPPA) bahkan pernah mengatakan bahwa Indonesia kini berada pada status darurat kekerasan seksual terhadap anak.Â
Sepanjang tahun 2022 lalu terdapat 9.5888 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak di Indonesia dari berbagai tingkat kasus, bahkan jumlah tersebut meningkat jika dibanding dengan kasus tahun 2021 yang berkisar 4 ribuan saja.
Kekerasan seksual yang masih saja terus terjadi di lingkungan pendidikan telah menjadi perhatian publik. Banyak pengelola pendidikan terus berbenah dan memberikan perlindungan hukum bagi pelapor.Â
Hanya saja pelapor masih kurang berani melakukan pelaporan baik tersembunyi maupun terang-terangan. Beberapa kampus terus berupaya melakukan pemantauan hingga pembentukan timsus dengan melihat adanya peningkatan korban kekerasan seksual.Â
Namun seiring dengan upaya tersebut, kejadian demi kejadian juga masih terus bermunculan. Seperti yang telah bersilewaran di media sosial dengan beragam kasus, korban, dan pelaku.
Kekerasan sesksual yang kerapkali terjadi di lingkungan pendidikan tentu mencederai marwah pendidikan kita di Indnesia dan bahkan menjadi korban akan mengalami penyakit psikis hingga trauma.Â
Perilaku kekerasan tersebut bahkan dilakukan oleh oknum yang seharusnya menjadi pengayom bagi siswa atau mahasiswa. Seperti kasus kekerasan seksual yang dialami oleh santri 13 santriwati di Bandung yang dilakukan oleh oknum guru sendiri di pondok pesantren tersebut dengan inisial HW (komnasperempuan.go.id).Â
Dari penelusuran tim komnas tersebut dikatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan karena adanya relasi kuasa antara pelaku dengan korban.Â
Pelaku senantiasa memanfaatkan kekauasaan untuk melakukan perbuatan tertentu kepada si korban. Di sisi lain si korban tentu memiliki kondisi tertekan. Tekananan yang dialami juga berlapis sebagaimana kekuasaan berlapis yang digunakan ole pelaku. Namun hal yang paling sulit diterima oleh korban adalah adanya trauma serta dihantui dengan keadaan tertekan dalam jangka waktu yang lama.
Kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan seperti halnya sistemik dan layaknya gunung es. Apa yang muncul di permukaan dan di pemberitaan hanya sebagian kecil dari beragam kasus. Pasalnya kasus yang dialami oleh korban terkadang disembunyikan. Seperti yang terjadi di salah satu PTAIN di Sulawesi yang diberitakan pada akhir 2022 ternyata telah berlagsung sejak empat tahun sebelumnya atau diperkirakan berlangsung selama empat tahun terakhir.Â
Pelaku yang merupakan salah satu oknum staff lepas alias tidak terikat telah melancarkan aksinya dan dengan korban sesama jenis (laki-laki) yang notabene semua mahasiswa aktif di kamppus tersebut. Seperti pemberitaan pada kompas.com (8/5/2023) bahwa seorang petugas keamanan kampus salah satu PTS di Makassar Sulawesi Selatan telah melakukan pelecehan seksual non verbal. Buntut dari pelecehan tersebut sempat cekcok dengan mahasiswa lainnya dan sempat terjadi penikaman kepada salah satu mahasiswa yang dilakukan oleh oknum petugas keamanan tersebut.Â
Lalu kemana korban pelecehan seksual mengadukan nasibnya jika bukan pada petugas keamanan. Nah bagaimana jika petugas keamanan sendiri yang menjadi pelaku. Demikian yang terjadi pada beberapa pondok pesantren di manan santri lagi lagi menjadi korban pelecehan seksual oleh oknum ustadz atau pembina ponpes tersebut.
Salah satu guru besar Sosiologi UNAIR Prof Emy menagatakan bahwa kekerasan seksual di kampus benar-benar telah terjadi dan ada. Bahkan ia mengatakan bahwa hamoir di setiap kampus itu ada, pernah terjadi atau bahkan masih ada benih-benih yang ditinggal pelaku dan luka yang meyayat korban. Hanya saja permasalahannya adalah korban tidak berani kelaur dari permasalahan tersebut dan berani melapor lantaran seperti dikatakan sebelumnya bahwa mereka berada dalam keadaan tertekan dan memiliki beban berlapis.
Melihat dari deretan kasus demi kasus kekerasan seksual sehingga yang mesti dilakukan adalah kerjasama yang baik dari segala pihak. Pertama pihak penyelenggara pendidikan/ kampus sebaiknya membentuk tim satuan tugas penangana terkait wacana tersebut.Â
Tim tersebut dapat bekerja dari sekarang baik secara terang-terangan maupun tersembunyi melakukan investigasi, pemantauan, perlindungan dan penanagan kasus. Kedua pihak korban dapat melakukan pelaporan baik terbuka maupun tertutup.Â
Hal ini sangat membantu untuk pengungkapan identitias pelaku dan dapat meminimalisir korban selanjutnya. Ketiga adalah penanganan pencegahan kekerasan seksual yang secara menyeluruh dan satu atap. Sebab kasus yang terjadi berlangsung secara sistematis sehingga penyelesaiannya pun secara sistematis dengan payung hukum yang jelas dan terarah serta implementatif.
Dengan keseriusan dan kerjasama dari berbagai pihak setidaknya dapat memberi efek jera kepada pelaku. Demikian adanya upaya pelancaran aksi berikutnya setidaknya dapat dicegah sedini mungkin dengan memberlakukan berbagai upaya termasuk upaya jalan hukum. Sebab umumnya pelaku sangat dengan dengan kekuasan kecil dalam lingkungan pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H