Rumah kami di sudut lapangan sepak bola Belanga berdiri tegak menghadap ke timur. Setiap harinya jika musim bola tiba, saya bersama ayah ibu kakak dan adik menyaksikan permainan tersebut dari beranda bola (rumah dalam Bahasa Bugis). Suatu ketika kami duduk di beranda menyaksikan sepak bola yang porak poranda, pemain saling berkejaran, wasit dikeroyok penonton, pemain dihadang di sudut lapangan. Kami tetap asyik menikmati tontonan itu sembari meminum teh hangat beserta pisang goreng dan kacang rebus hasil panen ayah kami di ladang. Kami acap kali bercanda kepada ayah, bolehkah kami ikut main bola juga layaknya anak-anak pada umumnya. Tentu ibu kami marah jika tahu ini terjadi, sebab ia menjadikan kami anak emasnya. Kamu tidak jago berkelahi katanya, kamu tidak boleh main-main badik, uhh! repot jadinya, celaka kita. Ayah terdiam. Adikku senyum, bahwa jika ia besar nanti ia akan jadi pesebakbola karena punya dua kakak laki laki yang bisa membelanya jika berantem di lapangan.
Begitulah citra olah raga yang satu ini di Belanga. Tiap Tarkam ada saja yang ditikam. Si pelaku penikaman pasti di penjara, penonton juga banyak celaka para medis kerepotan menangani yang luka. Selebihnya ikut bersorak, Â wasit harus punya ilmu kebal senapan alias kebal dari tikaman dan ocehan penonton. Â Polisi cari aman saja lantaran massa lebih banyak dibanding petugas. Setiap pelaku ia potret dari jauh usai pertandingan mereka tangkap pelaku di perbatasan. Tahun depannya begitu lagi, siapa yang menang siap-siap jadi korban tontonan penikaman, siapa yang kalah harus tanggung malu dan siap-siap menghardik lantaran dibuli, ujung-ujungnya ia masuk buih.
Itu hanya berlangsung sebelum tahun 2000an. Perlahan banyak polisi dan tentara perantau kembali ke kampung halaman. Mereka punya pengalaman di tempat tugas lama. Satu persatu mereka bentuk tim pe-sepak bola anti kekerasan. Mereka mengajak remaja hingga orang tua jadi muridnya. Mereka tak peduli dirinya pandai atau tidak. Namun mereka hanya ingin mengurangi isi bui dan isi rumah sakit, pelaku penikaman dan korban penikaman.
Sebut ia Pak Ali sersan dua polisi. Lepas memukul pimpinannya di rantauan ia sadar atas kesalahannya. Kini ia tebus dengan edukasi olah raga yang sportif. Ia membina murid-muridnya dengan baik. Sebelum masuk pada teknik dasar sepakbola ia berikan edukasi tiap sore bahwa Sanya sepak bola khususnya piala dunia pertama di Eropa itu diadakan untuk cegah perang dunia.Â
Demikian setiap sore, kelas lapangan sudah berjalan tiga bulan. Dianggapnya, muridnya akan paham bahwa sepak bola bukan untuk kalah dan menang tetapi untuk menepis pertikaian di Belanga. Layaknya misi piala dunia itu. Kita jangan jadi tontonan karena kericuhan, tapi kita harus jadi panutan. Anda yang menang di lapangan saya yang senang di pinggir lapangan. Belanga akan seperti bunga yang mekar menyebar wangi sepanjang zaman.
Suatu ketika saya pun ikut di kelas praktek. Tidak sempat ikut kelas edukasi lapangan lantaran sepulang sekolah hingga sore hari kami ke sawah dulu membantu ayah yang berkerja sebagai buruh tani. Â Saat praktek pertandingan uji coba antar lorong I dan lorong III, saya sempat dibujuk oleh pak Ali. Ikutlah kamu main sekali saja sebagai pelengkap. Rumah kamu berhadapan dengan lapangan masa tidak tahu nendang bola. Jadi pemain bola banyak penonton, banyak gadis bersorak. Soal ayah ibu, saya yang atur. Sebab anak anak seusia kamu di lapangan semua. Ke sawah bisa besok-besok lagi. Bola hanya ada di sore hari mumpung keringat sedikit keluar bersama penyakit. Ayolah, bujuknya.
Saya simpan cangkul beserta pakaian sawah, berganti dengan pakaian lapangan pemberian pak Ali. Berlari kiri kanan, posisi saya di bek kiri. Sebenarnya saya suka di sayap kanan, berbeda dengan kakak saya yang kidal tentu suka di sebelah kiri baik itu posisi bek maupun sayap kanan. Biarlah namanya juga pemula.Â
Brruuuukk! Kaki lawan saya hantam, ia terjatuh di gundukan rumput dengan menyelimuti batu batuan. Si Ben, lawan saya berdarah. Mati saya, kena tikam saya nanti. Lepas berdiri ia balik minta maaf. Kok berubah betul. Raut mukanya tak nampak kemarahan. Saya pun kena kartu merah. Lalu saya terus ke rumah sehabis itu. Si Ben melambai maaf katanya, kamu dapat kartu merah.Â
Damai betul sepak bola kini lantaran pak Ali berhasil mendidik anak murid mereka. Saya dah kakak membujuk ayah ibu. Agar adik kami dimasukkan dalam tim binaan Pak Ali, meski ia paling kecil dan paling muda dalam usia. Tapi ia bisa beranjak sedikit demi sedikit, soal fisik perbanyak minum telur ayam kampung, sontak pa Ali sembari senyum tatapannya mengarah ke kolom rumah yang dipenuhi kandang ayam.
" Ternyata sepak bola kini sudah berubah".Â