Tradisi makan bersama ini dilakukan secara melingkar duduk bersama dan tidak dengan di atas meja atau menggunakan kursi melainkan duduk bersila. Makan duduk bersila bermakna duduk sama rendah tanpa ada kelas sosial. Bagi di antara anggota keluarga yang tidak sempat datang karena berhalangan atau sungkan misalnya, maka keluarga tersebut tetap dapat jatah makanan. Pastinya mereka tidak menolak bahwa ini makanan berupa sedekah dari keluarga rumpun kita. Sehingga ada anggapan bahwa segala sesuatu permasalahan dalam keluarga (rumpun kita) akan di selesaikan di meja makan. Agar menjelang ramadan kita tidak saling dendam satu sama lain jikalau dalam satu tahun atau berapa tahun lamanya tidak saling komunikasi dengan baik maka akan berdamai dengan sendirinya.
Konon bahwa mabbaca ini dengan rupa-rupa di dalamnya dianggap sebagai tradisi Hindu. Hal tersebut bisa saja sebab jauh sebelum Islam datang di Nusantara bahkan di tanah Bugis kegiatan semacam mabbaca dianggap sebagai tradisi tolak bala. Mungkin kegiatan mabbaca ini terkesan bid'ah karena tidak ada dalam tradisi Nabi kita Muhammad SAW. Namun masyarakat yang memahami pentingnya kegiatan mabbaca ini dianggap sebagai sesuatu ajang bersedekah dan silaturrahmi sesama keluarga. Jika ada tetangga dan keluarga yang datang dari jauh dalam prinsip masyarakat Bugis bahwa mereka wajib makan makanan berat (di antaranya nasi dan lauk pauk tadi).
Sehingga menjelang ramadhan tiba biasanya sehari sebelum puasa atau di malam sebelum shalat tarawih di mulai dilakukan acara mabbaca dan makan bersama. Demikian setiap ada hajatan mulai dari hajatan kecil hingga besar maka akan dilakukan kegiatan mabbaca ini. Adapun tingkatan dengan namanya yang berbeda -beda dan didasarkan pada level acara yang dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H